Saumlaki, Dharapos.com
Dunia wartawan diibaratkan sebagai sebuah pisau tajam yang siap mengupas apa saja.
Bagaimanapun profesi wartawan adalah profesi yang menuntut setiap pekerja pers untuk bersikap profesional dan idealis. Kita patut acungi jempol terhadap langkah yang ditempuh sejumlah perusahaan media yang terang-terangan melarang para wartawannya menerima imbalan berupa apa saja dari narasumber.
Keberanian media-media tersebut sangat beralasan karena untuk menjaga independensi, sebuah perusahaan media massa perlu terbebas dari adanya faham amplopisme.
Seorang wartawan yang menyampaikan kebenaran kepada masyarakat, dituntut memiliki integritas atau kepribadian yang baik, baik integritas dari segi moral maupun intelektual.
Pasalnya, profesi wartawan sangat berbeda dengan profesi lainnya dimana mereka dituntut untuk tanggap terhadap gejala sosial di masyarakat, mengingat fungsi pers sendiri adalah sebagai kontrol sosial.
Sejumlah kalangan di kota Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat akhir-akhir ini banyak mengeluh soal perilaku sejumlah oknum wartawan yang jelas-jelas tanpa surat kabar alias WTS (baca:
Wartawan Tanpa Surat Kabar) yang melakukan modus operandinya dengan mencari keuntungan diri.
Meskipun bermodalkan kartu pers dari media yang tidak jelas ataupun kartu pers yang sudah exfire, namun para WTS ini gencar beraksi.
Sebutan WTS, rupanya tidak cukup dialamatkan kepada oknum wartawan tersebut karena meskipun sudah tahu tidak punya media yang jelas namun masih pula bermuka tebal dalam beroperasi sehingga tidak heran jika sebagian kalangan di Saumlaki memberikan gelar baru yakni “Wartawan SOTER”.
“SOTER itu bukan nama orang pak, tapi maksudnya Sorong Terus. Istilah ini katong berikan untuk okum wartawan yang tidak punya media jelas tapi masih pung muka tabal par jalan cari berita,” ujar salah satu sumber yang enggan dikorankan namanya.
Rupanya tak hanya masyarakat yang merasa geram dan heran dengan kondisi ini. Sejumlah pimpinan pada instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang tidak ingin namanya dikorankan kepada Dhara Pos belum lama ini pun mengakui hal yang sama.
Modus yang digunakan oleh para wartawan ini boleh dibilang sangat dahsyat ibarat sebuah pil yang berkhasiat menghilangkan rasa sakit bagi sang penderita.
Gelar ‘wartawan Bodrex’ memang sangat tepat pula disandang oleh para oknum wartawan tersebut, oleh karena modus curang yang mereka gunakan adalah biasanya memeras pejabat dan pengusaha yang sedang atau dianggap “bermasalah” meskipun oknum ‘wartawan Bodrex’ tersebut tidak memiliki media dan hanya bermodalkan kartu pers yang pernah aktif beberapa tahun silam.
“Bu, kalau orang ini bagaimana? Beta jadi bosan juga lihat dia saat datang minta mau wawancara beta.
Biasanya kalau dia datang, beta bilang anak-anak buah untuk kasi tahu dia bahwa beta lagi sibuk dan tidak bisa ketemu. Nah, beta harus atasi dengan cara ini saja bu, karena kalau dia datang selalu cari-cari katong pung kesalahan. Beta seng halangi kerja dia sebagai wartawan kalau dia pu media jelas, karena pernah beta diwawancarai tapi semenjak saat itu sampai sekarang, beta belum pernah baca beritanya di koran mana atau lihat dan dengar di media mana begitu,” papar salah satu sumber.
Wartawan ‘bodrex’ memang cukup lama dikenal di kalangan wartawan dan pejabat serta pengusaha.
Istilah tersebut sendiri muncul dari iklan obat sakit kepala di televisi, yang di dalamnya terdapat ‘Pasukan Bodrex Datang’. Secara faktual wartawan ‘bodrex’ biasanya datang beramai-ramai seperti pasukan.
Versi lain mengatakan, istilah ‘bodrex’ berasal dari narasumber yang merasa ‘sakit kepala’ jika didatangi wartawan palsu. Untuk menghilangkan ‘sakit kepala’ itu, sumber berita memberi amplop berisi uang sebagai ‘obat’ penangkalnya.
Dari penuturan para sumber, wartawan ‘bodrex’ dari segi penampilan, tidak ada perbedaan nyata dengan wartawan benaran. Sebagai wartawan, wawasan mereka memang dangkal karena tujuan utamanya memang semata bukan untuk kepentingan jurnalistik tetapi tidak jarang dari mereka punya daya intuisi dan investigasi yang tajam; bahkan tidak lagi memakai kaidah jurnalistik tetapi orientasi mereka sudah berubah menjadi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dengan berkedok sebagai wartawan.
Keberadaan wartawan ‘bodrex’ memang tak bisa dipandang sebelah mata lagi oleh semua pihak. Sebab, faktanya, mereka juga berkalung kartu pers sebagai bukti fisik identitas diri seorang wartawan, meskipun media yang pernah mengeluarkan kartu pers tersebut sudah tidak lagi beroperasi atau gelar wartawan yang dianugerahi oleh media pemberi kartu pers situ sudah di hentikan alias oknum wartawan itu sudah di pecat.
Jadi, Status profesi wartawan akhirnya cukup dilihat dan diukur dari parameter kepemilikan kartu pers meskipun dalam konteks ini, produktifitas karya jurnalistik menjadi tak begitu urgen.
Ungkapan kebebasan pers memang merupakan tiupan angin segar bagi penyebaran media masa termasuk kerja-kerja wartawan di MTB saat ini, namun dengan praktek-praktek para wartawan ‘bodrex’ tersebut, berubah menjadi ‘angin busuk’ bagi para wartawan dan perusahaan media di daerah julukan Duan-Lolat tersebut.
Terlalu naif jika nantinya institusi pers harus kehilangan kepercayaan publik hanya gara-gara merebaknya praktek-praktek kotor sebagaimana yang lazim dimainkan oleh para wartawan ‘bodrex’ ini secara terus-menerus.
UU Pers menyebutkan tujuan dari kemerdekaan pers antara lain menegakkan demokrasi, mengedepankan prinsip keadilan, dan supremasi hukum.
Persoalannya, jika hal itu perlu diimplementasikan maka adilkah wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan gadungan? Adilkah masyarakat sebagai pemilik kemerdekaan pers melakukan pembiaran? Lalu, apakah wartawan gadungan tersebut dapat diandalkan untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum sementara kejelasan status kewartawanan mereka saja bermasalah?
Publik harus cerdas dan tegas menyikapi wartawan gadungan. Mereka jangan diberi ruang hidup. Jika mereka memeras segera lapor ke pihak berwajib, oleh karena berbicara mengenai wartawan ‘bodrex’ atau wartawan ‘SOTER” maupun istilah WTS sekalipun, sudah pasti tidak ada lagi relevansinya dengan kemerdekaan pers.
Sebab profesi wartawan sangat bermartabat dan terhormat sehingga jika ada perilaku-perilaku tersebut maka sudah pasti sangat mencederai kehormatan profesi wartawan.
(mon)