Ambon,
![]() |
Walikota Ambon, Richard Louhenapessy |
Sejumlah guru kecewa terkait komentar Walikota Ambon, Richard Louhenapessy yang dilansir salah satu media lokal yang menuding para guru yang tak sabaran menanti pencairan dana sertifikasi. Saat itu, Walikota menuding para guru gajinya sudah habis dipotong untuk membayar kredit sehingga hanya dapat mengharapkan tunjangan sertifikasi.
Mereka meminta agar Walikota Ambon dalam menyampaikan komentar hendaknya yang dapat diterima akal sehat. Karena, jika tidak, jangan bermimpi pendidikan di kota ini menjadi berkualitas dan semoga tidak juga mengharapkan dukungan suksesi kepemimpinan pada pilihan kedua kalinya.
“Pak Walikota, guru jangan diobok-obok di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sangat disesalkan oleh Korps Guru Indonesia,” tegas salah satu guru yang enggan namanya disebutkan kepada media ini di Ambon, Kamis (13.6).
Menurutnya, secara psikologi jika pernyataan yang disampaikan oleh walikota Ambon untuk menepis sikap dan perilaku guru-guru yang konon meminta dana sertifikas, konsekuensi logisnya kembali dipertanyakan ada apa yang mengganjal hati seorang Walikota Ambon.
Haruslah diingat, tambah sang guru, kalau tanpa guru, tidak mungkin ada yang bisa jadi gubernur, tanpa guru tidaklah ada yang menjadi Walikota, karena guru adalah jabatan profesional yang mesti dihargai dan dijunjung oleh berbagai lapisan masyarakat .
“Sebagai seorang pejabat yang memiliki segudang ilmu dan kaya akan pengetahuan kenapa tidak ada kata-kata lainnya sehingga dipakai untuk memukau guru sekota ini biar menyadari kalau itu adalah keliru. Apakah tidak harus dengan pendekatan lain terhadap mereka yang bertanya lalu diberi pengarahan dan pengertian yang persuasif ataupun diekspos asal cukup memberikan penjelasan yang secara rasional dan dapat diterima,” tanyanya.
Dari pernyataan orang nomor satu di kota ini, para guru menilai Walikota terlalu emosional dan arogan, tidak terpuji bahkan terlalu subyektif mengomentari sesuatu yang apriori. Walikota menganggap guru se-kota Ambon sangat remeh dan tidak lagi menghargai guru sebagai jabatan profesional yang berjasa mendidik serta membentuk batu menjadi manusia.
“Gaji dipotong atau tidak itu urusan rumah tangga, bukan harus dipermalukan ditengah-tengah masyarakat dengan beralasan mengharapkan tunjangan sertifikasi. Perilaku guru yang ngotot meminta tunjangan, itu oknum bukan semua guru,” tegasnya
Menurutnya, guru tidak pernah meminta karena itu adalah hak mutlak sehingga pantaslah kalau itu dipertanyakan karena berdasarkan pada pengalaman proses pencairan dana sertifikasi terakhir tahun anggaran 2012.
“Realisasi pencairan dana sertifikasi bagi guru-guru SMA/SMK/MA diberikan 3 bulan, sedangkan bagi guru-guru SMP sederajat hanya 2 bulan pada Desember 2012,” bebernya.
Sebagai pejabat publik, Walikota dinilai kurang etis menggunakan bahasa seperti itu bahkan tidak santun dalam memberikan pencerahaan bagi bawahannya terutama terkait substansi permasalahan yang dihadapi.
“Karena Walikota telah menggeneralisasi guru-guru yang ngotot minta dana sertifikasi, itu sama saja dengan Walikota telah melecehkan status dan wibawa para guru di kota ini,” sesalnya.
Bahasa yang tidak santun itu sangat disesalkan semua guru di kota ini karena sebagai seorang pejabat publik tidaklah pantas menghamburkan kata-kata yang melecehkan status guru dimata masyarakat.
“Soal pinjam meminjam atau kredit di Bank itu merupakan konsekuensi kebutuhan sebuah rumah tangga, asal tidak meminta-minta atau korupsi,” tandasnya
Kekurangan bawahan bukan harus dikomentari, karena diakuinya, dengan pernyataan tersebut seluruh guru dengan keluarga merasa malu dan menyesal karena tidak lagi dihormati oleh seorang walikota, dan itu merupakan sebuah penghinaan bagi profesi guru. (dp)