![]() |
Ilustrasi kebebasan pers |
Papua, Dharapos.com
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura, Victor Mambor mempertanyakan, pernyataan Kepolisian Daerah (Polda) Papua tentang Jurnalis Asing yang disebut “Kadang mempropaganda dengan menyiarkan berita tidak benar dan berhubungan dengan kelompok separatis Papua, sehingga akan merugikan Indonesia di dunia Internasional” Hal ini menunjukkan pemahaman yang minim terhadap UU Pers di Indonesia.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. Patrige Renwarin mengatakan, jika selama jurnalis memberitakan hal yang obyektif tentang kondisi positif di Papua, misalnya tentang pembangunan yang sedang berlangsung, orang Papua tidak lagi terisolir, terbelakang tapi sudah semakin maju, maka akan berdampak positif.
“Jadi kami AJI Kota Jayapura berpandangan fungsi dan peran pers di Indonesia diatur oleh Undang-Undang. Dalam UU Pokok Pers No 40 tahun 1999 dengan jelas tertulis beberapa pasal yang mengatur tentang pers asing di Indonesia. Yakni Pasal 1 Ayat 7, yakni Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing dan Pasal 16 Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain dua pasal tersebut, UU Pokok Pers juga mengatur modal asing pada perusahaan pers di pasal 11,” urai dia dalam rilisnya yang diterima Dharapos.com, Rabu (6/5).
Masih dalam rilisnya, kata Mambor, Pasal 1 Ayat 7 mengatur tentang perusahaan pers asing. Pasal 16 mengatur tentang kewajiban pers asing menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya adalah peraturan keimigrasian di Indonesia. Namun tak ada satupun dari kedua pasal ini yang mengatur jurnalis asing harus memberitakan hal-hal yang positif selama berada di wilayah Indonesia.
“Jurnalis dimana pun berada terikat pada kode etik profesinya. Sebagaimana Jurnalis di Indonesia yang terikat pada kode etik organisasi yang dipilihnya serta kode etik yang diterbitkan oleh Dewan Pers, jurnalis asing juga terikat pada kode etik profesinya. Sehingga seorang jurnalis dimanapun dia berada ataupun dari mana asalnya, berkewajiban untuk bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, faktual dan tidak beritikad buruk. Jurnalis dimana pun berada dan dari manapun asalnya, dalam pekerjaan jurnalistiknya hanya bertanggung jawab kepada publik, bukan kepada salah satu kelompok atau institusi tertentu, bahkan kepada perusahaannya bekerja,”tegasnya.
Mambor juga mengatakan, pernyataan Kepolisian Daerah Papua ini secara langsung telah menuding berita yang diberitakan oleh pers asing itu tidak benar, berhubungan dengan kelompok separatis dan merugikan Indonesia di dunia internasional.
“Sebab berdasarkan data Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang disampaikan oleh Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Siti Sofia Sudharma dalam diskusi publik tentang Pers di Papua pada tanggal 29 April 2015 di Dewan Pers, pada tahun 2012 dari 317 jurnalis asing yang berkunjung ke Indonesia ada 5 jurnalis asing yang diizinkan masuk ke Papua dari 11 permohonan. Pada tahun 2013 dari 322 jurnalis asing yang berkunjung ke Indonesia, 21 jurnalis dari 28 jurnalis yang mengajukan permohonan liputan ke Papua diizinkan masuk ke Papua. Dan pada tahun 2014 ada 366 jurnalis asing yang berkunjung ke Indonesia. Dari jumlah ini 22 dari 27 permohonan mereka untuk masuk ke Papua disetujui. Apakah Kepolisian Daerah Papua bisa menunjukkan berapa jumlah pemberitaan dalam tiga tahun belakangan ini dari 48 kunjungan jurnalis asing ke Papua yang tidak benar, berhubungan dengan kelompok separatis dan merugikan Indonesia di dunia internasional? Jika memang ada, apa indikator tudingan tersebut?”tanya Ketua AJI Kota Jayapura.
Selain itu, dalam pengamatan AJI Kota Jayapura selama ini Kepolisian menjadi narasumber dominan berkaitan dengan pemberitaan kelompok separatis. Dan kerugian Indonesia di dunia Internasional, adalah tugas Kementrian Luar Negeri untuk mengklarifikasi berita-berita yang dianggap merugikan, bukan institusi Kepolisian Daerah.
AJI Kota Jayapura mencatat, sampai tahun 2015 ini, akses wartawan asing masih dibatasi untuk Papua. Lembaga bernama “Clearing House” yang terdiri dari 19 Satuan Kerja dan 12 Kementerian telah menjadi lembaga yang membatasi akses setiap jurnalis asing yang ingin meliput di Papua.
Lebih dari itu, setiap jurnalis asing yang berhasil mendapat akses liputan ke Papua, kerap dikuntit atau dikawal dalam melakukan pekerjaannya sehingga jurnalis tidak leluasa dalam menjalankan tugas
publiknya.
Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (WPFD) 2015, AJI Indonesia menyatakan pembatasan akses jurnalis di Papua hanya akan berdampak lebih buruk bagi rakyat Papua, juga Indonesia.
“Pembatasan akses ini akan mendorong lebih banyak situs-situs yang jauh dari prinsip-prinsip kerja jurnalisme yang mengedepankan verifikasi dan konfirmasi,”ujarnya.
Dikatakannya, keterbukaan akses jurnalis di Papua justru akan memberikan publik informasi yang lebih kredibel dan dapat dipercaya, pun dapat pula menjadi mata dan telinga terpercaya bagi Pemerintahan Indonesia.
(Piet)