Daerah

Astaga! Pemdes Adaut kembali Disoroti Warga Soal Penggunaan PAD

115
×

Astaga! Pemdes Adaut kembali Disoroti Warga Soal Penggunaan PAD

Sebarkan artikel ini
Kantor Desa Adaut
Kantor Pemerintahan Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar 

Adaut, Dharapos.com – Pemerintah Desa (Pemdes) Adaut, Kecamatan
Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar kembali disorot warganya.

Pasalnya, pihak Pemdes tidak transparan dalam
penggunaan anggaran Pendapatan Asli Desa (PAD).
Bahkan kini, akibat ketidaktransparan itu, Pemdes mulai menuai kritikan warga.
Informasi yang dihimpun Dharapos.com dari sejumlah
masyarakat desa, kritikan warga ini menyoal penarikan ngase atau sopi adat dan
uang dari sejumlah warga pendatang dari luar desa oleh Pemdes.
Kebijakan Pemdes ini dilakukan semenjak tahun lalu, dengan jumlah
yang harus dibayar setiap orang adalah Rp3.000.000,-
“Ada sekitar 24 orang dari Bugis Buton dan Makasar yang
menetap dan harus membayar Rp3.000.000 per orang sehingga mencapai Rp
72.000.000,” beber seorang sumber di Adaut.
Selain itu, LR (38) salah seorang warga saat dikonfirmasi
menyatakan Pemdes harus transparan dalam pengelolaan keuangan khususnya PAD.
Dirinya menyayangkan karena dari anggaran sebesar Rp.72 juta
yang seharusnya digunakan untuk membangun desa itu, tidak diketahui oleh
sepuluh Soa. (Soa : kumpulan sejumlah marga atau mata rumah – red).
Ketua Lembaga Adat, Agustinus Luarmase, yang dikonfirmasi
menyatakan, jumlah uang tersebut hingga saat ini tak diketahui penggunaannya
oleh pihaknya dan masyarakat setempat.
Menurutnya, Pemdes tidak menghiraukan dan melibatkan dirinya
dalam pengelolaan dana itu.
Padahal, sesuai kesepakatan di desa, kebijakan penarikan
uang siri pinang (ngase) oleh Pemdes harus diketahui Lembaga Adat, termasuk
penggunaan dana tersebut.
Sesuai ketentuan adat yang dibebankan kepada warga
pendatang saat pertama kali berada di desa Adaut, mereka wajib menyetor jumlah
uang tersebut dan seterusnya akan digunakan sebagai siri pinang untuk
memperkenalkan mereka kepada masyarakat adat di sepuluh soa.
“Uang itu kan bukan milik Pemdes, tapi merupakan hak
dari ke 10 soa yang ada di desa. Jadi penggunaannya pun harus
diketahui oleh masyarakat. Sampai sekarang, saya dan masyarakat tidak tahu uang
itu karena semenjak penyerahan tidak ada undangan bagi saya selaku ketua
lembaga adat,” beber Luarmase.
Ia juga menegaskan, kalau ada masyarakat yang menanyakan
keuangan itu maka wajar karena itu adalah hak mereka.
Sementara itu, mantan Kepala Desa Adaut Ignasius Batlayar
saat di konfirmasi menyatakan, soal uang senilai Rp.72 juta yang dibayar oleh
24 warga BBM tahun lalu itu merupakan kebijakan adat.
Dijelaskannya, sesuai ketentuan adat, mereka harus
dibebankan untuk memberikan seekor babi per orang. Pemberian itu akan
diserahkan kepada sepuluh soa sebagai perkenalan, namun mengingat mereka
beragama Muslim maka ada musyawarah untuk diuangkan sebesar Rp. 3 juta per
orang.
Setelah proses pembayaran, ia langsung menyerahkan kepada
bendahara desa karena beberapa waktu kemudian dirinya sudah memasuki masa purna
tugas.
“Saat itu saya sudah membuat bukti pembayaran yang
harus diserahkan kepada mereka, namun mungkin saja tidak diberikan oleh
perangkat desa lainya,” klaim Batlayar.
Ia juga mengaku tidak mengetahui proses penggunaan dana
tersebut karena saat ini sudah memasuki masa purna tugas.

(dp-45)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *