Utama

FB Pro dan TikTok Jadi Medan Caci, Mafindo Maluku Ingatkan: Viral Tanpa Etika Bukan Prestasi

52
×

FB Pro dan TikTok Jadi Medan Caci, Mafindo Maluku Ingatkan: Viral Tanpa Etika Bukan Prestasi

Sebarkan artikel ini
IMG 20251021 WA0093

Ambon, Dharapos.com – Dunia maya di Kota Ambon kembali diramaikan oleh perang kata antar pengguna media sosial, khususnya di platform Facebook Pro dan TikTok. Fenomena saling serang, hujat, dan sindir ini semakin marak, hingga mengundang perhatian Ketua Tim Periksa Fakta Mafindo Maluku, Aril Salamena.

Aril menegaskan, menjadi viral bukanlah segalanya. Menurutnya, obsesi sebagian pengguna media sosial untuk terkenal sering membuat mereka kehilangan akal sehat dan mengabaikan nilai-nilai budaya lokal yang menjunjung tinggi persaudaraan.

“Banyak orang sekarang ingin viral tanpa memikirkan akibatnya. Padahal, viral tanpa etika itu bukan prestasi, tapi tanda rendahnya literasi digital,” ujar Aril Salamena di Ambon, Selasa (21/10/2025).

Menurut Aril, fenomena saling caci di media sosial bukan sekadar persoalan moral pribadi, tetapi juga berpotensi memicu konflik sosial di tengah masyarakat Maluku yang sensitif terhadap isu SARA.

Pantauan Mafindo Maluku menunjukkan, dua platform tersebut kini dipenuhi konten provokatif. Tak sedikit kreator yang menyebarkan potongan video pribadi, percakapan, atau unggahan bernada menghina demi meningkatkan jumlah penonton dan pengikut.

“Media sosial sekarang jadi arena adu hina. Banyak yang lupa, di balik layar ada harga diri dan perasaan orang lain yang dipertaruhkan,” tegasnya.

Ia menilai, tren seperti ini telah menjauhkan media sosial dari tujuan awalnya sebagai ruang berbagi ide dan edukasi.

“Yang ditampilkan bukan lagi kecerdasan, tapi kebodohan yang dikemas menarik. Lucunya, makin kasar, makin ramai penontonnya,” sindir Aril.

Aril juga menyoroti meningkatnya jumlah anak di bawah umur yang menjadi penonton aktif konten provokatif dan vulgar di TikTok maupun Facebook Pro. Ia khawatir, anak-anak lebih banyak belajar dari konten digital ketimbang guru di sekolah.

“Anak-anak sekarang belajar dengan cara meniru. Kalau yang mereka lihat setiap hari adalah orang dewasa saling menghina di media sosial, atau video senonoh, mereka akan menganggap itu hal yang normal,” ujarnya prihatin.

Menurutnya, ruang digital seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kreativitas positif, bukan arena penyebaran ujaran kebencian.

“Kreativitas itu bukan soal siapa paling berani menghina, tapi siapa paling bermanfaat bagi orang lain,” tambahnya.

Hoaks dan Disinformasi, Bara di Tengah Rumput Kering

Selain ujaran kebencian, Mafindo Maluku juga menyoroti maraknya hoaks dan disinformasi yang beredar di dunia maya. Aril mengingatkan, Maluku memiliki sejarah panjang konflik sosial, sehingga penyebaran informasi palsu bisa menimbulkan dampak besar.

“Satu video lama yang diunggah ulang dengan narasi salah bisa memicu kebencian antarkelompok. Itu sudah sering terjadi di masa lalu,” jelasnya.

Ia menggambarkan hoaks seperti bara di tengah rumput kering — sekali tersulut, bisa membakar persaudaraan yang telah dibangun dengan susah payah.

“Katong seng boleh biarkan ruang digital jadi pemantik konflik. Maluku harus belajar dari pengalaman,” tegas Aril.

Ditekankan, menjaga etika digital sama pentingnya dengan menjaga adat dan budaya lokal. Nilai orang basudara, pela, dan gandong yang menekankan rasa hormat serta solidaritas, menurutnya, harus dihidupkan kembali di ruang digital.

“Kalau di dunia nyata katong bisa saling sapa, peluk, dan gandeng tangan, kenapa di dunia maya saling serang? Dunia digital juga bagian dari katong pung kehidupan sosial,” katanya.

Ia mengingatkan, literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan media sosial, tetapi juga kemampuan menahan diri.

“Kalau di dunia nyata katong bisa jaga lisan, maka di dunia maya juga katong harus jaga jari mai (jempol),” tegasnya.

 

Hati-hati dengan Konten dan Konsekuensinya

Aril mengingatkan para kreator di Ambon dan Maluku agar tidak mengorbankan etika demi popularitas. Menurutnya, sudah banyak kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE akibat unggahan yang tidak bertanggung jawab.

“Banyak yang baru sadar setelah dipanggil polisi. Padahal dari awal sudah jelas, media sosial bukan ruang bebas tanpa hukum,” ujarnya.

Ia pun mengimbau pengguna Facebook Pro dan TikTok agar lebih berhati-hati dalam membuat dan membagikan konten.

“Kalau mau dikenal, mestinya dengan karya, bukan karena cacian,” tegas Aril.

Di akhir pernyataannya, Aril Salamena menegaskan bahwa setiap unggahan di media sosial memiliki konsekuensi sosial. Dunia maya bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga ruang publik yang memengaruhi kehidupan nyata.

“Jari mai (jempol) itu kecil, tapi bisa menyalakan api besar. Gunakan untuk menyalakan terang, bukan untuk bakar katong rumah sendiri,” pesannya.

“Maluku terlalu berharga untuk dijadikan medan kebencian digital. Viral boleh, tapi tidak dengan mengorbankan nilai persaudaraan. Di tanah orang basudara, viral tanpa etika bukan prestasi,” tutup Aril Salamena.

(dp-53)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *