Utama

Oknum TNI Diduga Rusak Baliho Hukum di OSM, Warga Minta DPRD Ambon Turun Tangan

32
×

Oknum TNI Diduga Rusak Baliho Hukum di OSM, Warga Minta DPRD Ambon Turun Tangan

Sebarkan artikel ini
Screenshot 2025 11 04 07 06 36 56 6012fa4d4ddec268fc5c7112cbb265e7

Ambon, Dharapos.com — Warga OSM, Negeri Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Ambon untuk turun tangan menegaskan status hukum tanah di wilayah mereka, menyusul pengrusakan baliho hukum milik ahli waris Jozias Alfons oleh sejumlah oknum TNI.

Peristiwa yang terjadi pada Minggu (2/11/2025) itu diduga dilakukan oleh beberapa anggota TNI aktif yang dipimpin Danramil Nusaniwe tanpa surat perintah resmi dan tanpa koordinasi dengan pemerintah negeri maupun pihak kepolisian.

Baliho yang dirusak memuat pemberitahuan resmi mengenai status hukum tanah berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, yakni dari Putusan Nomor 656/1980 hingga Nomor 916 PK/Pdt/2024.

Aksi tersebut memicu keresahan warga yang menilai baliho itu bukan alat politik, melainkan sarana informasi publik yang dilindungi oleh undang-undang tentang Kebebasan Berekspresi dan Keterbukaan Informasi Publik.

“Baliho itu menunjukkan fakta hukum. Merusaknya sama saja menutup mata masyarakat terhadap kebenaran. Kalau kami tidak diberi tahu tentang status tanah ini, siapa yang akan melindungi hak kami?” ujar salah seorang warga OSM yang enggan menyebutkan namanya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sengketa tanah tersebut berakar pada putusan Mahkamah Agung Nomor 62 yang memenangkan ahli waris dari Jozias Alfons yaitu Jacobus Abner Alfons (Rycko W Alfons dan Evans R.Alfons) atas kepemilikan 20 potong tanah adat (dati).

Dari 20 potong dati tersebut, empat di antaranya telah dieksekusi dan dikuasai keluarga Alfons, yakni Talaga Raja, Batu Gajah, Batu Bulan, dan Kate-Kate (Kesia). Sisanya, termasuk Dati Kudamati yang mencakup wilayah OSM, belum dieksekusi.

Pihak ahli waris memasang baliho hukum sebagai bentuk pemberitahuan kepada masyarakat mengenai dasar legalitas kepemilikan tanah berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.

Namun, pelaksanaan eksekusi putusan MA harus melalui permohonan resmi ke pengadilan dan hanya dapat dilakukan setelah ada perintah eksekusi yang sah, sebagaimana pernah terjadi di wilayah Kesia.

Sementara itu, Evans Alfons, ahli waris sah dari almarhum Jacobus Abner Alfons, menilai tindakan oknum TNI tersebut memenuhi unsur tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang milik orang lain; Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan tanpa izin; serta Pasal 385 KUHP mengenai penguasaan tanah milik orang lain secara melawan hak.

Tindakan tersebut, kata Evans, juga bertentangan dengan konstitusi dan peraturan nasional, termasuk Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tentang pengakuan hak masyarakat adat; Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang hak ulayat dan adat; serta Pasal 180 HIR yang melarang tindakan fisik terhadap objek sengketa sebelum adanya eksekusi pengadilan.

“Kalau ini terjadi pada warga sipil biasa, tentu sudah ditahan. Tapi yang melakukan oknum militer. Ini membuktikan masih ada penyalahgunaan kekuasaan yang terang-terangan,” kata Evans.

Ia menegaskan bahwa baliho hukum yang dirusak bukan alat politik, melainkan pengumuman resmi yang dilindungi oleh undang-undang tentang Kebebasan Berekspresi dan Keterbukaan Informasi Publik.

“Baliho itu menunjukkan fakta hukum. Merusaknya sama saja menutup mata masyarakat terhadap kebenaran. Kalau masyarakat tidak diberi tahu tentang status tanah ini, siapa yang akan melindungi hak mereka? Hukum harus dijunjung, bukan dilanggar,” tegasnya.

Tindakan pengrusakan baliho oleh oknum TNI ini juga dinilai bertentangan dengan prinsip dasar hukum dan aturan militer yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, setiap anggota TNI wajib menjunjung tinggi hukum, norma, dan hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Tindakan perusakan tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin militer dan berpotensi masuk ranah pidana umum.

Selain itu, tindakan sepihak tanpa surat perintah maupun koordinasi dengan aparat pemerintah sipil dan kepolisian juga dianggap menyalahi prosedur operasional standar TNI. Jika terbukti benar, pelaku dapat dikenai sanksi sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) maupun aturan internal TNI.

Warga berharap DPRD Ambon dapat segera memediasi persoalan ini agar tidak berkembang menjadi konflik sosial dan semua pihak dapat mematuhi mekanisme hukum yang berlaku. Mereka juga mendesak agar aparat penegak hukum, termasuk POM TNI, menindaklanjuti dugaan pelanggaran hukum oleh oknum anggota militer tersebut demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

(dp-53)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *