Saumlaki, Dharapos.com – Fenomena perkawinan anak di Desa Tumbur, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar mengundang rasa keprihatinan berbagai pihak.
Kasus ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, tetapi semakin marak.
Setidaknya dilaporkan empat pasangan anak di bawah umur yang telah menikah.
Erwin Lerebulan (37), seorang pemuda generasi penerus di desa tersebut dengan tegas meminta pihak kepolisian sebagai penegak hukum untuk bertindak.
“Kami sebagai pemuda generasi penerus minta penegak hukum mencegah kasus begini, sehingga jangan sampai ke depannya bisa lebih fatal dari sekarang, di kami punya kampung ini,” ujarnya kepada media ini, Rabu (12/2/2025).
Sumber lain, TL (36), yang juga pemuda setempat, turut membenarkan adanya perkawinan anak di bawah umur.
Ia bahkan mengungkapkan keheranannya karena praktik ini turut disetujui oleh pemerintah desa.
“Sudah ada keluarga yang lapor Pemerintah Desa, tetapi saya heran, pemdes pun mengiyakan perkawinan itu. Padahal, belum menikah, hanya kumpul kebo dan sementara sekolah, tapi kawin saja,” ungkapnya.
Data yang terungkap sangat mengkhawatirkan.

Beberapa contoh pasangan yang menikah di bawah umur antara lain,
LF (pria dewasa) dan TM (wanita, siswa SMA kelas 2), sudah tidak sekolah dan sedang hamil.
SL (pria dewasa) dan IM (wanita, 16 tahun), penyelesaian secara kekeluargaan oleh Pemerintah Desa Tumbur.
OL (pria dewasa) dan TM (wanita, anak SMP kelas 3).
AL (pria, 16 tahun), anak dari bapak YL, dengan identitas perempuan yang belum diketahui.
Keprihatinan ini bukan tanpa alasan. Karena anak-anak yang menikah dini kehilangan kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan memiliki masa depan yang lebih baik.
Apalagi, mereka belum memiliki kesiapan mental, ekonomi, dan sosial untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Pemerintah desa seharusnya tidak tinggal diam, apalagi jika benar ada indikasi bahwa mereka ikut mendukung praktik ini.
Terhadap kondisi ini, Kepala Pemerintahan Desa Tumbur, R. Folatfindu, saat dihubungi untuk konfirmasi via telepon seluler, masih berada di luar jangkauan.
Perkawinan anak bukanlah tradisi yang harus dilestarikan, melainkan masalah sosial yang harus dihentikan.
Jika tidak ada tindakan tegas dari pihak berwenang, bukan tidak mungkin kasus serupa akan terus terjadi, merenggut masa depan anak-anak yang seharusnya masih bisa bersekolah dan mengejar cita-cita mereka.
Sudah saatnya ada tindakan nyata! Pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat harus bersatu untuk menghentikan praktik ini demi melindungi hak-hak anak.
Jika terus dibiarkan, jangan salahkan siapa pun jika generasi mendatang kehilangan masa depan yang lebih cerah.
(dp-47)