![]() |
Sejumlah petugas sementara mengevakuasi jasad korban gigitan buaya ganas di kota Saumlaki, MTB |
Saumlaki, Dharapos.com
Bagai ungkapan ironi tanpa koma, mungkin ini adalah sebuah istilah yang tepat bagi para nelayan di kota Saumlaki dan sekitarnya saat ini yang sedang merasa sangat terganggu dengan ancaman gigitan buaya ganas secara beruntun semenjak 2014 silam.
Meskipun gigitan jenis binatang berdarah dingin atau reptilia ini telah meluas di sejumlah tempat dan tak sedikit telah menghabisi nyawa manusia, namun terkesan belum ada penanganan serius oleh Pemerintah.
Bagai pula di zaman perang, para nelayan kini merasa ketakutan saat melaut di kawasan teluk kota Saumlaki yang meliputi laut desa Olilit, Saumlaki, desa Sifnane, desa Bomaki, dan desa Lermatan – Red); padahal, kawasan ini banyak menyediakan berbagai jenis hasil laut yang dapat diolah oleh para nelayan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Pekan kemarin, Dhara Pos sempat berdialog dengan sejumlah nelayan di desa Olilit Barat, kecamatan Tanimbar Selatan.
Sius, salah satu nelayan yang sering melaut di sepanjang teluk kota Saumlaki ini mengaku tidak melaut lagi beberapa pekan terakhir pasca penemuan jasad korban oleh Tim gabungan.
“Takut melaut, rawan pak. Apalagi tahun kemarin kejadian yang beruntun itu terjadi pada bulan ini juga,” tuturnya saat ditanya wartawan.
Sius dan beberapa rekannya itu berharap ada penanganan serius dari Pemerintah, sehingga mereka bisa melaut dengan bebas, dan tidak merasa terganggu lagi oleh adanya gigitan buaya hingga jatuhnya korban yang kian meluas di beberapa lokasi.
Kekecewaan yang sama pula disampaikan oleh Stanislaus Batbual, salah satu tokoh masyarakat desa Sifnana.
Ia sempat bercerita tentang keluhan-keluhan para nelayan di desanya yang akhir-akhir ini sudah mulai berhenti melaut akibat merasa terancam dengan serangan buaya ganas.
Sejumlah nelayan saat ini mengeluh karena kebutuhan ekonominya mulai terganggu akibat tidak lagi melaut dengan secara rutin seperti sebelumnya.
“Persoalan gigitan buaya ganas yang telah merenggut nyawa belasan orang semenjak tahun 2014 lalu itu saat ini sesuai hemat kami belum ditangani serius oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah yang punya rakyat, semestinya segera mengambil tindakan, karena ini soal nyawa manusia. Seolah-olah pemerintah bersikap apatis karena terbukti hingga saat ini tidak ada langkah kongkrit, sementara korban terus berjatuhan. Dalam diskusi dengan para nelayan di desa (Sifnana-Red), mereka merasa terancam jadi sudah takut melaut dan akibatnya kebutuhan ekonomi mereka semakin menurun,” katanya.
Oleh karena itu, para nelayan telah bersepakat untuk nantinya bersama-sama melakukan perlawanan terhadap kawanan buaya ganas di seputaran teluk Saumlaki, yang ditafsir banyak jumlahnya itu.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap Pemerintah yang terkesan lamban dan tidak ada upaya pencegahan.
“Masyarakat sudah sangat resah, dengan demikian masyarakat sudah bersepakat untuk memusnahkan para buaya ganas ini dengan cara mereka sendiri meskipun tanpa bantuan pemerintah. Kami sudah temukan satu kelompok dari desa tertentu yang sudah siap untuk melakukan pemusnahan terhadap para buaya di teluk kota Saumlaki. Kelompok ini sudah teruji,” tandasnya.
Meskipun buaya ini masuk kategori jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang namun oleh karena telah mengancam keselamatan dan nyawa manusia maka Batbual berpendapat perlu dibasmi.
Langkah ini menurut dia, justru akan efektif dilakukan agar menjadi tamparan bagi Pemda MTB untuk berpikir lebih serius.
“Dari segi moral, hukum tidak lebih penting dari martabat dan nilai manusia. Jadi kalau pemerintah berlindung di bawah Undang-Undang dimana pertimbangan untuk tidak melakukan perlawanan terhadap buaya karena masuk kategori satwa dilindungi sementara nilai manusia diinjak-injak oleh aturan itu, maka pemerintah harus melihat dari segi ini. Kami butuh tindakan yang cepat, karena masyarakat mau hidup dengan cara apa?
Masyarakat pasrah, kalau katong seng turun ke laut lalu siapa yang mau kasih uang par katong pung biaya hidup,” tegasnya.
Untuk diketahui, semenjak pertengahan tahun 2014 lalu, sejumlah kawasan di Kabupaten MTB seperti di Kecamatan Selaru, Tanimbar Selatan dan Kecamatan Wermaktian masuk dalam kategori berbahaya dan rawan gigitan buaya ganas.
Tercatat hingga kini, korban yang meninggal dunia akibat gigitan buaya ganas sudah melebihi 10 orang.
Pemda MTB melalui BPBD dan Polsek Tanimbar Selatan telah melakukan berbagai upaya penanganan seperti sosialisasi bahaya gigitan buaya, melarang warga untuk tidak melaut pada malam hari secara sendiri-sendiri, ritual adat di sejumlah desa, hingga rencana penangkapan buaya, namun masih terbentur dengan sejumlah kendala seperti: minimnya fasilitas dan pendanaan.
Beberapa waktu lalu, muncul pikiran sejumlah pihak untuk melakukan perlawanan terhadap buaya ganas dengan cara mengusulkan kepada Pemkab MTB melakukan perburuan sekaligus membunuh para buaya ganas yang telah menewaskan belasan warga itu.
Wakil Bupati MTB, Petrus P. Werembinan dalam sebuah kesempatan dengan para wartawan di ruang kerjanya mengatakan, Buaya adalah jenis satwa yang dilindungi, sehingga tidak bisa dibunuh melainkan perlu ditangkap dan dicebloskan ke dalam penangkar.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan anggaran karena pembuatan kawasan tempat tinggal buaya memang membutuhkan biaya yang mahal, serta butuh keahlian khusus untuk menangkap buaya.
Pemkab MTB lalu melakukan berbagai upaya preventif tersebut, dan ternyata semenjak September 2015 lalu, tidak ada lagi korban yang dilaporkan terjadi akibat serangan buaya ganas.
Meskipun begitu, dipertengahan bulan Maret 2016, nyawa masyarakat kembali jadi santapan buaya ganas.
Kapolsek Tanimbar Selatan, IPTU Danny Jambormias yang selalu melakukan pencarian korban hilang bersama gabungan tim dari sejumlah instansi terkait itu berprediksi jika jumlah satwa ini masih cukup banyak yang sementara mencari mangsa di teluk kota Saumlaki.
Pasca ditemukannya jasad Tarsisus Wasa (33) warga kota Saumlaki asal Bajawa Flores,NTT pada Jumat siang (18/3) yang terdampar di dalam muara sungai Weminak di perbatasan desa Bomaki dan Lermatan kecamatan Tanimbar Selatan, Kepala BPBD MTB, Kornelis Batmomolin mengaku bakal mengkaji kembali langkah-langkah strategis untuk menekan tidak terjadi lagi korban susulan.
“Kami akan mengajukan pertimbangan kepada pimpinan untuk segera dilakukan upaya lanjut. Artinya kalau sampai ke tingkat eksekusi juga secara pribadi saya berpendapat bisa saja, karena sudah masuk kategori rawan dan mengancam nyawa manusia, bahkan nyawa manusia telah melayang. Karena kalau manusia melakukan tindak kejahatan saja bisa dijerat dengan hukuman mati, apalagi binatang,” tegasnya.
(dp-18)