Nasional

Di Rakernas APKASI, Bupati Malra Angkat Persoalan Tenaga Honorer

5
×

Di Rakernas APKASI, Bupati Malra Angkat Persoalan Tenaga Honorer

Sebarkan artikel ini

Bupati Hanubun APAKSI Bogor
Bupati Maluku Tenggara M. Thaher Hanubun


Langgur,
Dharapos.com
– Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) XIV Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
(APKASI) resmi digelar di Kabupaten Bogor, bertempat di Hotel Vimalla, Megamendung, Bogor,
Sabtu (18/6/2022).

Bupati Maluku Tenggara M. Thaher Hanubun jadi salah satu kepala daerah yang hadir pada agenda nasional tersebut. 

Rakernas
mengusung tema “Dengan Semangat Kolaborasi, Kita Sukseskan KTT G20 Untuk
Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional Yang Kuat dan Berkelanjutan”.

Menteri
Dalam Negeri, Tito Karnavian membuka langsung kegiatan yang diikuti  seluruh Bupati se-Indonesia ini.

Dalam
kesempatan tersebut  Bupati Maluku Tenggara menyampaikan pokok-pokok
pikiran sehubungan dengan Surat Menteri PAN dan RB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022
tanggal 31 Mei 2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Terkait hal
itu  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengapresiasi Kebijakan Pemerintah
Pusat untuk menyelesaikan Tenaga Honorer yang telah bekerja di Lingkungan
Instansi Pemerintah sejak diberlakukannya PP 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan pasca pemberlakuan UU Nomor 5
Tahun 2014 tentang ASN telah ditetapkan PP 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK
yang diundangkan tanggal 28 November 2018, yang hanya menegaskan Pegawai
Lingkungan Instansi Pemerintah hanya terdiri dari 2 (dua) Jenis kepegawaian
yakni PNS dan PPPK.

Menurut
Hanubun, kebijakan ini tentu menimbulkan reaksi yang berbeda, dimana hampir
sebagian besar menganggap kebijakan ini menimbulkan dampak/efek yang luas,
karena dikeluarkan pada kondisi ekonomi yang belum pulih akibat Pandemi
COVID-19 dimana sektor-sektor yang dianggap memiliki kontribusi terhadap
penciptaan lapangan kerja baru mengalami “tekanan”.

Keresahan di
kalangan Pegawai Honorer yakni kejelasan nasib mereka kedepan. Karena
Penyelesaian Tenaga Honorer Pasca Pengelompokan Honorer Daerah menjadi Honorer
Kategori I (K1) dan Honorer Kategori II (K2), sampai dengan saat ini belum juga
terselesaikan.

Padahal
mereka telah bekerja secara terus menerus guna peningkatan pelayanan
Pendidikan, pelayanan Kesehatan dan bidang strategis lainnya, terutama di
sebagian wilayah perbatasan dan wilayah terpencil, yang sama sekali tidak diminati
oleh ASN pada umumnya.

“Secara
politis, menurunkan legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah
Daerah, apalagi menjelang agenda demokrasi lokal,” sambungnya.

Dijelaskan,
kebijakan pengangkatan tenaga Honorer di daerah sangat diperlukan guna
mengakomodasi tingginya lulusan perguruan Tinggi yang setiap tahunnya terus
meningkat.

Lulusan
perguruan tinggi yang tinggi/banyak, tanpa diimbangi dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan, seringkali berdampak pada konflik sosial yang diawali
dengan penggunaan media sosial, atau kapasitas penguasan teknologi Informasi
untuk menciptakan ketidaknyamanan atau suasana yang tidak kondusif dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan.

Menurunnya
efektifitas pencapaian tujuan organisasi Pemerintah Daerah, mengingat jumlah
PNS yang tersedia saat ini belum memadai/mencukupi baik dalam aspek jumlah dan
kualitasnya guna terwujudnya pelayanan publik yang optimal.

“Perlu
diketahui bahwa alokasi/jatah/ formasi ASN yang ditetapkan MENPAN RB ke
setiap Daerah setiap tahunnya, kami nilai sangat timpang bila dibandingkan kebutuhan
pegawai ASN,” bebernya.

Rata-Rata
Formasi yang ditetapkan setiap tahunnya oleh KEMENPAN untuk Kabupaten/Kota
adalah berkisar antara 100 – 200 orang, padahal kebutuhan setiap tahunnya
berdasarkan hasil ANJAB dan ABK berkisar antara 500 sampai 1000 orang.

Bila
dikalkulasi jumlah formasi yang ditetapkan MENPAN RB hanya menutupi pegawai
yang memasuki Batas Usia Pensiun (BUP) yang setiap tahunnya lebih dari 100
Orang.

Oleh karena
itu Gap (kesenjangan) Kebutuhan SDM Aparatur hanya dapat “dimungkinkan” diisi
dari Pegawai Non PNS atau Honorer.

Selanjutnya,
menurut Bupati Maluku Tenggara, dari berbagai dampak  yang diuraikan di
atas dan untuk perbaikan Tata Kelola Pengelolaan Kepegawaian di Daerah termasuk
pengelolaan Tenaga Honorer ke depan, maka Bupati  merekomendasikan
beberapa usulan antara lain,

“Review/Revisi
ketentuan pasal 99 ayat (1)PP 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK,dimana perlu
diberikan waktu yang cukup untuk penyesuaian kebijakan pemberhentian pegawai/tenaga
Honorer,” usulnya.

Pengurangan
tenaga honorer agar disesuaikan dengan Alokasi formasi CPNSD dan PPPK yang
ditetapkan oleh MENPAN RB setiap tahunya.

Sebagai
contoh bila sesuai hasil ANJAB Dan ABK tahun 2022 diperlukan 500 orang PNS
alokasi MENPAN yang diberikan untuk daerah hanya 100 maka sisa 400 kebutuhan
PNS/Honorer sehingga fungsi pelayanan publik dan tugas pemerintahan lainya
berjalan dengan optimal.

Bilamana
Pemerintah tetap melakukan kebijakan sesuai PP 49 tahun 2018 maka perluh  ada kebijakan Afarmasih  bagi Eks tenaga honorer dimana masa kerja
tenaga honorer menjadi faktor penentu dan diberikan bobot/nilai besar pada
seleksi  masuk CPNS/PPPK.

Kebijakan
pemberlakuan tes/seleksi masuk dengan menggunakan Cat (computer asisted tes)
dan pemberlakuan passing grade perluh ditinjau kembali mengingat hampir
sebagian besar tenaga honorer tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam
penggunaan komputer dan cenderung kalah bersaing dengan lulusan baru perguruan
tinggi.

Penggunaan
metode tes tertulis dengan tingkat kesulitan soal disesuaikan dengan kondisi
daerah.

“Perlu ada
pemilaan atas jabatan-jabatan yang memerlukan kemampuan analisis dan
jabatan-jabatan tertentu yang berhubungan dengan pengunaan fisik misalnya
pemadam kebakaran, polisi pamong praja dan jabatan sejenisnya penggunaan
passing grade agar ditiadakan,” dorongnya.

Guna
efektifitas dan efisiensi maka jabatan-jabatan atau jenis pekerjaan yang tidak
diisi melalui formasi ASN misalnya cleaning service, sopir pengemudi, penjaga
kantor tidak dilakukan dengan mekanisme outsourcing, namun diserahkan
kewenangan pengangkatannya kepada Kepala daerah atau pejabat dibawanya sesuai
dengan kebutuhan.

Perlu ada
kebijakan afirmasi dimana tenaga honorer sebagai tenaga pengajar dan tenaga
kesehatan yang bertugas di wilayah perbatasan/terluar/ tertinggal yakni
“tidak mengajukan pindah keluar”instansi bagi pelamar umum pada
formasi CPNS yang semula minimal 10 tahun agar dievaluasi menjadi 20 tahun.

Formasi/alokasi
CPNS tertentu bidang pendidikan, kesehatan, dan strategis lainya yang dapat
diisi oleh lulusan perguruan tinggi lokal, tidak dibuka melamarnya dari pelamar
umur dari luar daerah.

“Kebijakan
ini guna menyediakan ruang yang cukup bagi putra daerah untuk berperan aktf
dalam pembangunan daerahnya,” tandasnya.

(dp-52)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *