Dobo,
Ketidakhadiran sejumlah anggota DPRD Aru yang terjadi sebelumnya saat sidang pembahasan APBD Aru Tahun Anggaran 2013 yang berlangsung beberapa waktu lalu terkait status Bupati Thedy Tengko kembali terulang. Kali ini, terjadi pada saat paripurna penutupan masa sidang ke tiga tahun 2012 dan pembukaan masa sidang pertama tahun 2013 yang digelar diruang sidang utama Senayan Mini, pada awal Februari lalu. Pasalnya, sepuluh anggota legislatif Aru kembali tidak hadir dalam sidang tersebut. Termasuk didalamnya, dua wakil pimpinan Dewan yakni wakil ketua I Frans Leunupun dan wakil Ketua II Jemy Siarukin.
Alasannya pun masih sama, menyangkut status Bupati Thedy Tengko. Selain itu, ketidakhadiran ini menandakan adanya dugaan terjadinya perpecahan dalam internal DPRD Aru lantaran adanya perbedaan pendapat terhadap status Bupati Aru tersebut. Alhasil, kondisi ini sangat berdampak negatif pada sejumlah agenda DPRD.
Siarukin, ketika dikonfirmasi media, mengungkapkan alasan ketidakhadiran dirinya dan sejumlah anggota lainnya dikarenakan status Thedy Tengko sebagai Bupati dengan predikat terpidana yang disandangnya berdasarkan putusan Mahkamah Agung.
“Alasan ketidakhadiran para anggota dewan karena sidang tersebut dihadiri bupati terpidana Thedy tengko sesuai keputusan Mahkamah Agung. Kita belum bisa mengakui dia sebagai Bupati karena status hukumnya itu,“ jelasnya.
Selain itu, kata Siarukin, agenda masa sidang ini juga merupakan kelanjutan dari sidang sebelumnya yang dipimpin Frangki Leunupun. Sehingga menurutnya, sebelum dilanjutkan, mestinya dibahas terlebih dahulu oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPRD untuk menentukan agenda sidang selanjutnya serta menentukan pimpinan siding. Namun, faktanya hal tersebut tidak dilakukan. Malah, secara diam-diam ketua DPRD sudah melayangkan surat undangan kepada para anggota dewan dalam rangka pelaksanaan paripurna tutup buka masa sidang tersebut. Siarukin menegaskan apa yang dilakukan pihaknya merupakan sebuah bentuk protes maka sekalipun paripurna terlaksana namun secara yuridis tidak diakui.
“Karena itu sebagai nada protes maka sepuluh anggota dewan tidak menghadiri paripurna itu sendiri, walaupun pada prinsipnya mereka hadir tetapi mereka memilih walk out dari ruangan sidang. Paripurna itu dianggap tidak sah,karena ini akan ditandatangani oleh tiga pimpinan “ tegasnya.
Sementara ketua DPRD Aru, Jembris Salay ketika dikonfirmasi media, mengatakan Dewan ketika menjalankan mekanisme paripurna hanya berdasarkan Tata Tertib (Tatib) DPRD pasal 127 ayat tiga menjelaskan persyaratannya harus dihadiri oleh ½ dari jumlah anggota. Maka apa yang dilakukan pada paripurna tutup buka sidang tersebut sudah sesuai mekanisme.
Selain berdasarkan mekanisme, Salay mengaku agenda itu juga sebelumnya telah dibahas oleh badan musyawarah (Bamus) 8 November selanjutnya disahkan pada 10 November, sehingga sudah sesuai tatib DPRD.
“Kalau memang ada pemikiran yang menganggap sah atau tidak maka nanti disesuaikan dengan tatib saja. Yang jelas kita sudah sesuai tatib dan itu bukan keputusan saya secara pribadi melainkan dari seperdua anggota,“ tandasnya.(obm)