Ambon, Dharapos.com – Organisasi kepemudaan di Maluku angkat suara keras menanggapi kasus penyetrikaan siswa SRMA 40 Ambon, MAL (17) dan pemecatan Aprilia Titirloloby, Juru Masak yang membongkar peristiwa itu.
Bagi OKP, kasus ini bukan lagi sekadar kekerasan di lingkungan pendidikan, tetapi indikasi rusaknya integritas pengelola sekolah yang seharusnya melindungi anak didik.
Sekretaris KNPI Kota Ambon, Wilson Rahayaan, mengecam keras tindakan guru/petugas kemensos yang diduga menempelkan setrika panas ke dada seorang siswa, serta sikap sekolah yang justru membungkam pihak yang berani bersuara.
“Ini bukan hanya kekerasan, ini tindakan biadab yang tidak ada tempatnya dalam dunia pendidikan. Lebih parah lagi, orang yang berani bersuara malah diberhentikan. Ini penghinaan terhadap akal sehat,” tegas Rahayaan dalam, Rabu (20/11).
Ia menilai pemecatan Aprilia merupakan sinyal kuat adanya upaya sistematis untuk menutupi kasus kekerasan tersebut. Pemecatan dianggap tidak masuk akal dan terkesan dilakukan tergesa-gesa setelah kasus mencuat ke publik.
Ia menegaskan, dunia pendidikan tak boleh dijalankan dengan kultur menakut-nakuti dan memaksa siapa pun bungkam.
Rahayaan mendesak Kementerian Sosial RI selaku pembina Sekolah Rakyat, Dinas Sosial Maluku, serta Gubernur Maluku untuk turun tangan langsung.
“Kepala sekolah yang menutupi kasus harus dicopot. Guru pelaku penyetrikaan harus segera diproses hukum. Tidak ada negosiasi soal ini,” tegasnya.
Rahayaan juga meminta pemerintah memberikan perlindungan kepada Aprilia sebagai pelapor, sekaligus memastikan seluruh siswa mendapatkan pendampingan psikologis.
Ia mengingatkan bahwa Sekolah Rakyat didirikan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak dari keluarga rentan, bukan untuk menambah trauma baru dalam hidup mereka.
“Ini sekolah sosial, bukan tempat penyiksaan. Kalau institusi yang harusnya melindungi justru menjadi sumber ketakutan, maka yang rusak bukan hanya satu sekolah, tapi masa depan anak-anak itu,” pungkasnya.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku melalui Ketua Komisi IV Saodah Tethool, pada Rabu (19/11/2025) secara terbuka kepada media mengklaim bahwa kasus tersebut tidak benar alias hoaks.
Saodah beralasan Komisi IV telah melakukan peninjauan langsung ke sekolah.
Mirisnya, kasus yang begitu serius justru terkesan dianggap sepele. Pasalnya, berdasarkan keterangan sepihak dari Kepala Sekolah Afia Joris, Komisi IV langsung percaya tanpa melakukan pendalaman lebih jauh.
Dewan terlihat tidak menganalisis kasus ini secara komprehensif.
“Untuk berita yang viral terkait siswa SMA 46, yang disampaikan bahwa ada guru yang menyetrika anak sekolah hingga badannya melepuh, setelah Komisi turun ke lapangan ternyata kejadiannya bukan seperti itu. Anak-anak ini membuat tato di dada mereka dan salah satu guru menegur. Akhirnya mereka disuruh menghapus tato tersebut. Ada guru yang memberi contoh kalau tidak, setrika saja. Lalu salah satu siswa mengambil setrika panas dan menyetrika dada temannya. Jadi bukan dilakukan guru, tapi siswa sendiri. Berita-berita yang disampaikan media bisa membuat orang celaka, seandainya guru itu dipanggil dan diberi sanksi tanpa penjelasan. Saya sudah minta agar siswa mengeluarkan klarifikasi supaya masalahnya jelas,” cetus Ketua Komisi IV Saodah Tethol.
Dari pernyataannya ini, dapat diketahui jelas bahwa Ketua Komisi IV DPRD Maluku tidak memahami kasus secara utuh. Bahkan penyebutan nama sekolah saja keliru yang seharusnya SRMA 40 disebut sebagai SMA 46.
Pihak Komisi IV DPRD Maluku seharusnya mendasari pemberitaan dan keterangan-keterangan sebelumnya sebagai acuan untuk menganalisis kasus secara lebih mendalam. Sehingga tidak mudah percaya pada satu pihak, terutama pihak sekolah yang mungkin saja berusaha melindungi pelaku demi mempertahankan posisi.
Apalagi sampai ada pekerja yang kemudian jadi korban akibat dipecat dari pekerjaannya sebagai juru masak karena mengungkapkan fakta kebenaran soal kasus setrika dimaksud.
Terungkapnya kasus ini bermula dari pengakuan korban MAL (17) kepada CNN pada Selasa (12/11/2025). Peristiwa itu bermula saat ia dan enam temannya membuat tato berisi nama masing-masing. Perbuatan mereka kemudian diketahui oleh wali asuh, dan mereka kemudian dikumpulkan untuk diberi nasihat.
Tiba-tiba datang seorang oknum bernama Bahri sambil membawa setrika panas dan langsung menempelkannya ke dada korban. Korban tidak melawan dan hanya pasrah meski tubuhnya terbakar.
“Sekitar jam tujuh malam saya disetrika di bagian dada oleh Pak Bahri. Kami enam orang yang kedapatan membuat tato. Kami sempat dihukum, tapi hanya saya yang disetrika. Bagi saya, hukuman itu tidak manusiawi,” kesal korban.
Sementara itu, Kepala SRMA 40 Ambon, Afia Joris, mengatakan bahwa pelaku adalah seorang pegawai Kemensos yang bertugas di sekolah tersebut.
“Tidak ada pegawai sekolah, wali asuh, maupun guru yang melakukan tindakan kekerasan itu. Yang melakukan adalah salah satu pegawai Kemensos,” ujarnya pada Rabu (12/11/2025).
Dari pengakuan korban dan kepala sekolah, dapat disimpulkan bahwa benar terjadi tindakan penyetrikaan terhadap siswa, meskipun beberapa jam kemudian kepala sekolah mengeluarkan klarifikasi berbeda, diduga karena adanya intervensi pihak tertentu.
Selain itu, terdapat pula keterangan dari juru masak sekolah, Aprilia Titirloloby, yang kini dipecat secara sepihak setelah informasi mengenai kejadian tersebut bocor. Bukti berupa foto dan percakapan grup WhatsApp juga mendukung adanya kekerasan.
Dengan semua informasi tersebut, DPRD seharusnya bersikap objektif, teliti, dan tidak mudah percaya pada satu pihak ketika melakukan peninjauan. Mereka perlu memastikan semua bukti dan sudut pandang diperhatikan, termasuk mendengar keterangan murid, orang tua, guru, staf sekolah, hingga instansi terkait seperti KPAI dan kepolisian.
Pendekatan yang jeli, hati-hati, dan netral sangat penting untuk memastikan keadilan bagi korban serta menjaga kepercayaan publik terhadap proses penanganan kasus.
Juru masak Aprilia Titirloloby turut berharap agar DPRD dapat mengambil keputusan yang adil. Ia juga meminta Gubernur Maluku turun tangan, karena kebenaran mengenai kasus ini justru ditutupi oleh pihak sekolah.
“Pelaku harus segera diproses. Saya yang hanya juru masak dipecat karena informasi kejahatan ini bocor sementara pelaku masih duduk manis karena dilindungi kepala sekolah,” tegasnya.
Ia juga meminta keluarga korban untuk tidak tinggal diam dan tidak mudah menerima bujuk rayu pihak sekolah. Pelaku harus diproses hukum dan kepala sekolah perlu dievaluasi.
(dp-53)













