Daerah

Tradisi “Yelim” dan Kaitannya dengan Sistem Perpajakan

22
×

Tradisi “Yelim” dan Kaitannya dengan Sistem Perpajakan

Sebarkan artikel ini
Kadispenda Malra A Yani Rah
Kepala Dispenda Malra, Drs A. Yani Rahawarin, M.Si

Tual, Dharapos.com
Kehidupan masyarakat di Kepulauan Kei sejak lampau dilandasi berbagai aturan atau tradisi adat yang hingga kini dijadikan sebagai penuntun kehidupan bermasyarakat.

Salah satunya, Tradisi “Yelim” yang dalam bahasa setempat dapat diartikan sebagai sumbangan sukarela tanpa tekanan dan tanpa balas jasa.

Tradisi ini jika ditinjau dari sisi sosiologis kultural masyarakat Kei, menyerupai sistem perpajakan yang diberlakukan negara.

Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara, Drs. A. Yani Rahawarin, M.Si menuturkan bahwa pajak dalam ketentuan negara dapat diartikan sebagai pungutan yang di lakukan oleh Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Definisinya adalah pungutan yang diperoleh dari kontribusi wajib pajak  kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” urainya.

Kemudian, hasil dari pungutan tersebut nantinya digunakan untuk kepentingan pembiayaan, pengeluaran umum dan pemerintah yang balas jasanya tidak langsung dirasakan oleh rakyat.

Dan, apabila digali dari unsur sosiologis kultural masyarakat Kei, bahwa dalam kehidupan sehari-harinya mereka ternyata sudah mengenal aturan pajak yaitu Yelim.

Seperti pada acara tertentu yang membutuhkan dana besar atau biaya penyelenggaraan yang biasanya dipikul bersama sebagai perwujudan orang bersaudara atau di kenal dalam Bahasa Kei dengan sebutan “Ain Ni Ain”.

Yelim dalam paham masyarakat setempat adalah sumbangan suka rela tanpa paksaan dan tanpa balas jasa dari keluarga yang satu kepada keluarga lain yang sedang menggelar hajatan seperti acara perkawinan, kematian atau kedukaan maupun acara adat lainnya dan yang pada dasarnya melibatkan banyak orang.

“Aturan ini juga persis menyerupai dengan pajak dalam kehidupan bernegara,” sambungnya.

Keterkaitan masyarakat di Kepulauan Kei pada kelompoknya sangat tinggi sehingga mereka berupaya untuk berpartisipasi dalam berbagai acara baik dalam kelompok atau upacara adat dengan berbagai bentuk.

“Salah satu bentuk partisipasinya yaitu Yelim melalui dana,” rinci rawarin.

Selain itu juga, ada gengsi yang dipertaruhkan dalam berbagai acara kelompok atau upacara adat.

“Sehingga kemudian berkembang budaya malu yang pada gilirannya melahirkan pula budaya bersalah apabila terdapat anggota kelompok yang merasa tidak mampu berpartisipasi dalam acara sebagaimana di atas,” sambung Rahawarin.

Ditambahkan, terkait kondisi ini, dirinya telah menuangkannya dalam sebuah buku berjudul “Yelim Pajak di Kabupaten Maluku Tenggara”.

“Buku ini menguraikan secara jelas bagaimana masyarakat Kepulauan Kei hidup dalam aturan Yelim,” tukasnya.


(dp-20)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *