![]() |
Dedy DC. Maaturwey, SH, MH |
Konflik lahan untuk kepentingan korporasi minyak dan gas (migas) memiliki cerita panjang dan berdarah-darah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa korupsi terbesar di Indonesia berasal dari sektor industri migas (5 April 2014). Rakyat hanya menjadi penonton dan harus rela berkorban demi kepentingan korporasi besar atas nama negara.
Mari lihat kasus-kasus kejahatan korporasi di sektor tambang dan migas di beberapa tempat lainnya.
Misalnya kasus Freeport, Sape, Mandailing Natal, Batang Toru, Bangka, PT. Semen Indonesia di Rembang, hingga penembakan warga di Wawoni (Suara Tambang, 2015).
Persoalan yang sama terjadi pada masyarakat Maluku dan Maluku Utara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara melaporkan bahwa Pemerintah Daerah Maluku Utara telah dengan seenaknya memberikan ijin tambang di atas wilayah lahan masyarakat adat.
Akibatnya timbul konflik agraria (sumber : http://www.aman.or.id). Hal yang sama bukannya tidak mungkin akan terjadi di wilayah Maluku lainnya yang kaya akan sumber daya alam.
Konflik jelas merugikan masyarakat. Tidak saja masyarakat sebagai individu, namun juga masyarakat dalam ikatan adat. Sebagai pemilik adat yang merupakan pemilik hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam.
Demikian pernyataan Munadi Kilkoda selaku Deputi AMAN Maluku Utara. Peristiwa konflik yang terjadi antara suku Sawai dengan Perusahaan Tambang Weda Bay Nikel merupakan bukti nyata.
Sedangkan menurut Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan, ada sekitar 700 – 800 konflik agrarian di Indonesia yang akar masalahnya berasal dari pembebasan lahan. Menurutnya tidak mudah untuk menyelesaikan konflik yang banyak tersebut.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merilis data bahwa sampai dengan September 2013, mencapai sekitar 4.200 an kasus sengketa lahan (sumber : www.bps.go.id) . Setiap tahun kasus-kasus tersebut bertambah walaupun langkah-langkah prioritas penyelesaian masalah terus menjadi perhatian serius.
Mengapa konflik terjadi? Mengapa rakyat, masyarakat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara maupun badan usaha milik daerah dan swasta nasional dan swasta asing berkonflik? Mengapa lahan menjadi pusat konflik? Lebih dalam lagi, pembebasan lahan, merupakan sumber konflik.
Lahan Untuk Kepentingan Umum
Rakyat selalu berada pada posisi tawar yang lemah. Tidak banyak cerita pembebasan lahan yang berakhir happy ending bagi rakyat pemilik negeri ini. Penguasa, terutama masa orde baru, menggunakan kekuatannya untuk menekan dan menakuti-nakuti rakyat.
Dalam situasi demikian, rakyat–lah yang menentukan bagaimana harus bertindak dan bersikap. Tujuannya memperoleh penguatan, memperoleh pemahaman yang benar sekaligus dapat melakukan pembelaan diri. Supaya rakyat menempatkan dirinya sebagai pribadi, dan kelompok masyarakat yang melek hukum, khususnya hukum di bidang pertanahan dan pembebasan lahan.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat (3) dinyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Ayat ini jelas menyatakan bahwa negara wajib mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Christiana, 2012). Dengan kata lain yang dibangun adalah hubungan penguasaan bukan pemilikan (Ibid. hal. 41).
Sehingga perlu dipertanyakan apabila negara melalui aparaturnya bertindak berlebihan ingin memiliki? Ada motif apa ini? Siapa sesungguhnya yang memiliki motif tersebut? Negara yang direpresentasikan para pejabatnya? Ataukah para kapitalis yang mempergunakan negara untuk kepentingan bisnisnya? Sekali lagi, keinginan untuk memiliki tercermin dari pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Bukankah bumi, air dan kekayaan alam telah dikuasai negara tanpa harus memiliki. Negara memiliki tingkatan hubungan tertinggi.
Seharusnya tidak ada keraguan negara untuk menggunakan kekuasaan mencapai tujuan bernegara, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk itu publik harus belajar memahami sekaligus cerdas melihat bagaimana pembebasan lahan yang dilakukan oleh negara atas dasar kepentingan umum. Perlu ada uji publik untuk memastikan bahwa benar pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Supaya pembebasan lahan tersebut sudah tepat menggunakan pendekatan kepentingan umum.
Mengingat sesungguhnya lahan sebagai representasi bumi, air dan kekayaan alam yang pada hakekatnya dikuasai oleh negara. Negara berkuasa dan selanjutnya ingin memiliki. Ini lah persoalan yang sangat serius.
Keinginan menguasai menjadi memiliki melalui pembebasan lahan, dengan pendekatan lahan untuk kepentingan umum, harus memenuhi syarat-syarat kriteria kepentingan umum. Jika tidak terpenuhi salah satu syarat maka gugur-lah alasan untuk kepentingan umum tersebut.
Pengadaan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum, harus memenuhi dua hal. Pertama, peruntukannya, yakni ditujukan untuk kegiatan apa dan kedua kemanfaatannya, apakah kegiatan tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat (Maria SW Soemardjono, 2005).
Mengingat definisi kepentingan umum sangat abstrak dan luas maka pemerintah/negara tidak memiliki hak untuk memberikan definisi secara sepihak (Ob.cit. 50). Menurut Gunanegara (2012) kepentingan umum merupakan konsep yang hanya dapat ditetapkan kriterianya dan tidak dapat dirumuskan pengertiannya.
Sehingga menurutnya, kepentingan umum adalah konsep hukum yang kabur, hanya untuk kepentingan praktis. Sehingga Christiana dengan tepat merumuskan bahwa kepentingan umum merupakan ekpresi campuran antara pedoman umum dan daftar kegiatan yang termasuk lingkup kepentingan umum.
Untuk itu, Gunanegara menetapkan tujuh syarat untuk menetapkan kepentingan umum: (1) sesuai dengan cita dan tujuan negara; (2) dikuasai dan/atau dimiliki oleh negara; (3) tidak boleh diprivatisasi; (4) untuk kepentingan lingkungan hidup; (5) tidak untuk mencari keuntungan; (6) untuk tempat ibadah/tempat suci lainnya; dan (7) ditetapkan dalam undang-undang.
Berdasarkan tujuh syarat kepentingan umum, selanjutnya Gunanegara menetapkan tiga kriteria kepentingan umum, (1) dikuasai dan/atau dimiliki oleh negara; (2) tidak untuk mencari keuntungan; dan (3) tidak dapat dipindahkan ke tempat lain.
Dari syarat dan kriteria kepentingan umum, yang tidak kalah pentingnya adalah tujuan yang hendak dicapai. Apa tujuan dari pembebasan lahan yang mengatasnamakan kepentingan umum? Apakah benar-benar untuk kepentingan umum? Atau apakah ada kepentingan-kepentingan yang berada di belakangnya dan menunggangi?
Untuk itu harus dikembalikan pada tujuannya. Pembebasan lahan untuk kepentingan umum harus memiliki tujuan, pertahanan negara, keamanan umum, keselamatan umum, pekerjaan umum, pelestarian dan perlindungan alam serta cagar budaya. Jika pembebasan lahan yang mengatas namakan kepentingan umum namun jauh dari tujuan-tujuan tersebut maka dijamin bahwa kegiatan pembebasan tersebut bertujuan lain.
Bisa jadi ada motif ekonomi yang menggunakan tangan negara. Semata-mata supaya semua urusan menjadi lancar. Karena itu publik sudah sewajarnya curiga dan waspada pembebasan lahan tanpa tujuan sebagaimana dimaksud semata-mata pada akhirnya hanya untuk motif-motif ekonomi tertentu semata-mata.
Siapa Makan Untung
Pembaca masih ingat peristiwa penangkapan Direktur Sengketa Badan Pertanahan Nasional, Elfachri Budiman oleh aparat penegak hukum (sumber : http://news.detik.com/berita). Penangkapan tersebut jelas mencoreng citra institusi BPN. Mantan Kepala Kantor Pertanahan Medan tengah menjalani proses penyelidikan di Mabes Polri, Jakarta.
Oknum pejabat ini telah “makan untung” demikian istilah yang biasa digunakan masyarakat Maluku. Dan fenomena ini bisa jadi dengan mudah ditemukan di banyak tempat dan wilayah di Maluku ataupun di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu waspada masyarakat harus ditingkatkan. Mengingat penegakan hukum di Indonesia lemah. Aparat penegak hukum belum mampu untuk menjalankan bahkan menegakkan hukum di bumi nusantara ini.
Hingga saat ini, banyak kasus pertanahan yang terjadi telah mengakibatkan penumpukan berkas-berkas perkara. Setiap tahun bertambah lebih dari 1500 perkara baru di BPN. Sekalipun langkah terobosan terus dilakukan dan penegakan hukum giat dilaksanakan namun hal tersebut tidak membuat “kapok” dan “tobat” aparat penegak hukum dan pejabat yang membidangi masalah tanah. Disinyalir ada transaksi-transaksi jual beli perkara dalam kasus pembebasan lahan.
Rakyat-lah yang dirugikan dan yang mendapatkan rente ekonomi nya adalah oknum pejabat. Rakyat tertindas dalam berbagai kasus pembebasan lahan. Negara lebih mengutamakan kelompok pemodal dan swasta asing, khususnya di industri migas, ketimbang masyarakat dan pengusaha nasional.
Untuk itu pemahaman yang tepat dan benar perlu dimiliki rakyat. Pembebasan lahan untuk kepentingan umum merupakan konsep yang lemah. Harus dipastikan tujuan dari penggunaan lahan tersebut. Setidaknya apakah ada keuntungan yang kelak akan diperoleh oleh para pihak yang terlibat di masa yang akan datang setelah lahan tersebut beralih kepemilikannya?
Singkat kata pembebasan lahan untuk kepentingan umum sesungguhnya merupakan konsep yang usang. Tidak akan bermanfaat manakala sesungguhnya para pemilik lahan tertarik untuk bekerjasama dalam kegiatan yang akan dilaksanakan. Apalagi kegiatan tersebut merupakan kegiatan bisnis.
Pemerintah dan para pihak yang membutuhkan lahan untuk kepentingan bisnis dengan memperoleh laba (motif ekonomi) dapat duduk bersama-sama membicarakan rencana-rencana partisipasi yang dapat dilakukan masyarakat atas lahan tersebut.
Jadi ada alternatif solusi mencegah konflik. Duduk bersama-sama dengan para pemangku kepentingan, bisa digunakan untuk memastikan pemerintah tidak ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan negara untuk menerapkan pasal kepentingan umum saat membebaskan lahan.
Pasti !!!
Oleh: Dedy. DC. Maaturwey, SH, MH (Pemerhati Hukum)