![]() |
Yoppie Frans Manunwembun, S.Sos, M.Si |
Saumlaki, Dharapos.com
Gerakan Amtufu Bangkit (GAB) menegaskan dasar pembentukannya merupakan keinginan dan kesepakatan Pemerintah desa, dan seluruh masyarakat di desa Tumbur dan desa Lorulun dengan tujuan utama untuk memperjuangkan kebutuhan masyarakat di dua desa tersebut.
Penegasan tersebut disampaikan menyusul dikeluarkannya statemen oleh Pemerintah Daerah Maluku Tenggara Barat bahwa GAB adalah organisasi yang tidak diketahui oleh Pemerintah kedua desa maupun pemerintah Kecamatan Wertamrian oleh Sekretaris Daerah MTB Mathias Malaka, SH., M.TP dalam keterangan persnya kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu.
Wakil Ketua III GAB – Yoppie Frans Manunwembun, S.Sos.,M.Si kepada wartawan di Saumlaki menilai jika pernyataan tersebut merupakan hal yang keliru.
Menurutnya, pembentukan GAB yang di ketuai oleh Drs. Yos Malindar, M.Si adalah merupakan hasil dari musyawarah masyarakat desa Tumbur dan Lorulun pada 13 Oktober 2013 lalu di desa Lorulun, dimana para pengurus dan anggota yang terdiri dari seluruh keterwakilan masyarakat yakni dari unsur pemerintah desa, tua-tua adat, tokoh Agama, pemuda, masyarakat, dan tokoh pendidik, yang berada di kedua desa tersebut maupun sejumlah putera desa yang berada di Saumlaki, Tual, Ambon, Merauke, Sorong, Jayapura, Jakarta maupun di Belanda.
Manunwembun mengatakan bahwa pembentukan GAB tersebut disahkan oleh Pemerintah Desa melalui keputusan Kepala Desa Lorulun – F. Torimtubun, nomor: 140/271/2013 tanggal 21 Oktober 2013 tentang pembentukan Lembaga Gerakan Amtufu Bangkit.
“Memang saat itu hanya kepala desa Lorulun saja yang keluarkan SK oleh karena desa Tumbur saat itu dijabat sementara oleh Kepala Satpol PP – Neles Batmomolin.S.Sos yang memang tidak mungkin beliau setuju karena beliau kan orang Pemda. Meski demikian, seluruh tokoh agama, pemuda dan tokoh adat dari desa Tumbur juga hadir dan merestui pembentukan GAB,” urai mantan Ketua Panwas Pemilukada MTB tahun 2006 tersebut sembari menunjukan kepada wartawan SK Kades Lorulun.
Tentang perjuangan GAB terkait persoalan penamaan Bandara serta hutang sisa ganti rugi lahan Bandara Mathilda Batlayeri yang belum diselesaikan Pemda MTB menurutnya, merupakan keinginan dan desakan masyarakat Amtufu, termasuk para pemilik lahan.
Sehingga sangatlah berlebihan jika Pemda MTB menilai kalau GAB mengajukan keberatan bagi Pemda MTB semata-mata bukan merupakan keinginan masyarakat atau tanpa sepengetahuan Pemerintah desa dan masyarakat, termasuk pemilik petuanan.
“SK pembentukan GAB ini kan tembusannya telah disampaikan kepada Bupati, DPRD, Kapolres MTB, Camat dan Kapolsek Wertamrian. Bahkan kami sudah surati DPRD MTB dan Bupati untuk minta beraudience tetapi yang sangat kita sayangkan sampai sekarang belum pernah terjadi. Hanya saja Pak Kapolres yang menyikapi surat tersebut dan bertemu dengan kami. Oleh karena itu, GAB menyurati komponen alat Negara sampai kepada yang tertinggi yaitu Presiden RI, dan yang menyikapi permintaan kita adalah DPRD Provinsi Maluku melalui komisi A,” ulasnya lagi.
Persoalan penamaan Bandara dijelaskan pula bahwa GAB tidak lagi mempersoalkan nama bandara melainkan mempersoalkan proses pemberian nama bandara yang dinilai cacat hukum. Karena hal ini disebabkan oleh banyaknya rekayasa yang ditemukan.
“Dari sisi konsep, sebuah tranparansi itulah yang sangat dibutuhkan. Kita sadari juga bahwa baik Pa Bupati maupun Pa Sekda mungkin terlalu banyak tugas yah, sampai lupa kali yah untuk membaca banyak sekali regulasi yang kita sama-sama pahami kalau kita rajin membaca,” sindirnya.
Sementara itu, Manunwembun juga menjelaskan bahwa terkait biaya ganti rugi lahan yang dipersoalkan oleh masyarakat melalui GAB karena didasari ingkar janji Pemkab MTB.
Pada proses awal telah disepakati bahwa jika Rp. 2.000,- per meter persegi tanah yang akan dibayarkan Pemda kepada masyarakat maka Pemkab MTB berkewajiban untuk menanggung biaya pajak.
Namun hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana perjanjian awal di desa Lorulun yang dihadiri oleh Wakil Bupati MTB saat itu yakni DR (HC) Lukas Uwuratuw, sejumlah Asisten Setda dan beberapa pimpinan dinas teknis.
Hal lain juga yang patut di curigai saat ini adalah diduga telah terjadi penyerobotan lahan milik warga saat penggusuran wilayah sekitar Bandara untuk kepentingan perluasan wilayah bandara dan pembangunan sarana sisi darat dan udara.
“Masalah 350 Ha luas bandara yang disetujui oleh pemilik lahan dan yang kami pahami saat itu adalah bentuknya seperti senjata kan? Tetapi sekarang sudah dikurung Pemda empat persegi dengan pagar. Jadi kami anggap bahwa kemungkinan itu ada lebih, dimana lahan masyarakat juga sudah diambil lagi. Nah kami hanya minta untuk tolong diukur ulanglah supaya kita bisa pastikan. Kalau setelah diukur dan itu pas 350 Ha maka syukur alhamdulilah, akan tetapi kalau lebih dari ukuran itu maka kewajiban Pemda untuk membayar dan bukan dibayar dengan Rp 2.000 lagi kan,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Komisi A DPRD Provinsi Maluku – Herman Hattu kepada wartawan saat di wawancarai di Saumlaki mengatakan jika dalam Rapat dengar pendapat yang digelar oleh Komisi A DPRD Maluku dengan menghadirkan utusan Pemkab MTB dan pihak GAB, telah disarankan kepada Pemkab MTB untuk hal tersebut bisa dikomunikasikan dengan baik antara Pemkab MTB dengan masyarakat Amtufu.
“Usul kami kepada Pemda MTB saat itu adalah mengakomodir pengaduan masyarakat itu dalam pendekatan kultur masyarakat disini, karena kami melihat bahwa pendekatan kultur budaya itu merupakan instrumen yang paling tepat,” ujarnya.
Herman mengatakan bahwa jika persoalan tersebut tidak di atur secara baik oleh Pemkab MTB maka kemungkinan persoalan tersebut bakal di mejahijaukan oleh GAB.
Hal ini merupakan pernyataan yang disampaikan oleh perwakilan GAB pada saat acara hearing beberapa waktu lalu. DPRD Provinsi Maluku melalui komisinya juga telah memiliki sejumlah bukti saat melakukan advokasi, bahkan juga tentang status lembaga GAB yang jelas.
(dp-18)