![]() |
Tempat Transit Imigran Gelap Dan Lokasi Transhipping karena Minimnya Pengawasan Di Perbatasan Laut Indonesia-Australia (Data Pemda MTB) |
Saumlaki,
Sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Maluku yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste meskipun telah dimekarkan dari kabupaten Maluku Tenggara 15 tahun silam berdasarkan UU RI No. 46 Tahun 1999 namun hingga kini daerah tersebut masih saja terisolir dan rawan dari berbagai ancaman dalam negeri maupun luar negeri.
Secara geografis daerah MTB meliputi perairan landas kontinen dan atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di laut Arafura dengan jarak Saumlaki – Darwin 502 KM atau lebih dekat ketimbang jarak Saumlaki– Ambon (ibu kota Provinsi Maluku – red) yakni 592 KM.
Hal ini tergambar dalam penyampaian gambaran umum pengelolaan batas wilayah NKRI dan kawasan Perbatasan di kabupaten MTB oleh Wakil Bupati, Petrus P. Werembinan, SH di hadapan Tim DESK WILTAS dan PPKT Kementrian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam RI), Selasa (30/9) di pendopo Bupati.
Kepada tim, Werembinan sempat memaparkan potensi daerah MTB yang sangat kaya akan SDA seperti potensi kelautan dan perikanan tangkap maupun budidaya yaitu ditemukannya 583 jenis ikan di perairan MTB, memiliki potensi Minyak dan Gas bumi yang sangat besar dan terletak di perbatasan RI dan Australia seperti blok Marsela, blok Selaru – Babar, dan Blok West Aru I dan II.
Selain itu, memiliki potensi pariwisata yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata regional maupun internasional, terutama pariwisata bahari dimana terbukti dengan seringnya kapal pesiar maupun kapal layar mancanegara yang singgah di Saumlaki atau daerah-daerah lain di MTB.
Selain potensi di sektor perikanan, migas dan pariwisata, kawasan perbatasan, Werembinan mengaku jika MTB memiliki potensi di sektor perkebunan, kehutanan, hortikultura, tanaman pangan dan peternakan.
Meskipun Pempus telah menetapkan Saumlaki yang adalah ibu kota MTB sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN) menurut PP No. 26 Tahun 2008 dengan 4 pulau terluar seperti PPKT Larat, PPKT Selaru, PPKT Batarkusu, dan PPKT Asutubun namun daerah tersebut masih terisolir dan terganjal sejumlah persoalan.
Terperinci disebutkannya yakni untuk aspek batas wilayah negara terdapat sejumlah persoalan seperti belum diratifikasinya perjanjian antara Indonesia dan Australia untuk tubuh air, ZEE, dan dasar laut Indonesia- Australia oleh kedua negara, sehingga inventarisasi pulau-pulau di sekitar perbatasan RI-Australia harus rutin dilakukan.
Perjanjian Landas Kontinen Australia – Indonesia cenderung merugikan Indonesia, dimana nelayan Indonesia (WNI) hanya boleh mengambil/memanfaatkan SDA Laut yang ada di permukaan dan kolong air, sedangkan Australia berhak atas SDA yang ada di dasar laut seperti lola, teripang, mutiara dan sebagainya yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.
“Masih ditemukannya kasus lintas batas ilegal serta pencurian ikan oleh kapal asing di perbatasan RI-Australia dalam wilayah Kabupaten MTB. Selain itu, belum terintegrasinya pengelolaan lintas batas oleh unsur terkait seperti CIQS/Custom, Imigration, Quarantine and Security di MTB, kurang
terpeliharanya Titik Dasar/Titik Referensi di pulau Terluar yang menjadi acuan untuk menarik batas maritim antar Negara dimana hal ini terlihat misalnya seperti abrasi pantai Pulau Larat yang mengancam eksistensi Titik Dasar 104 dan setelah di telusuri ternyata peta dasar dan tematik nasional batas NKRI belum lengkap, termasuk batas negara RI–Australia,” paparnya.
Dari segi pertahanan keamanan dan penegakan hukum, MTB masih terbentur dengan sejumlah persoalan seperti minimnya sarana dan prasarana dalam rangka pengawasan dan pengamanan perbatasan laut dan udara yang sesuai dengan karakteristik wilayah perbatasan RI-Australia di laut Arafura (laut yang dalam dan cuaca yang ekstrim).
![]() |
Hasil tangkapan di ZEE yg dipindahkan ke kapal asing /transshipment ( Data Pemkab MTB). |
Selain itu, tidak adanya sarana bantu navigasi yang memadai di pulau terluar untuk membantu pelayaran dan status keberadaan pulau tersebut, maraknya kasus-kasus illegal fishing di kawasan perbatasan negara Indonesia-Australia oleh nelayan lokal maupun nelayan asing bahkan mereka terkadang menggunakan bahan/alat yang melanggar hukum dan mengancam kelangsungan ekosistem laut.
Belum lagi, rawan terjadinya berbagai kegiatan illegal lainnya antara lain illegal logging, illegal minning, illegal transhipping dan sebagainya maupun rawan terjadinya penyelundupan dan imigran gelap.
Wabup juga mengatakan bahwa aparat TNI dan Polri yang ditugaskan di wilayah MTB yang berada persis di daerah perbatasan kerap mengeluh soal masih minimnya kesejahteraan.
Selain itu diakuinya bahwa masih rendahnya pemahaman aparatur pemerintahan dan masyarakat tentang pelibatan sebagai komponen cadangan dalam rangka bela negara di kawasan perbatasan serta belum optimalnya sinkronisasi dan sinergitas program/kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dalam melaksanakan kewenangan pusat di kawasan perbatasan, khususnya urusan pertahanan kemanan serta pengelolaan manajemen Lintas Batas Negara (Penempatan Imigrasi, Karantina dan Bea cukai).
“Dari aspek ekonomi, belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam/potensi kawasan perbatasan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perbatasan, minimnya infrastruktur informasi dan telekomunikasi, kawasan perbatasan di MTB belum dikembangkan sebagai “Gerbang Selatan NKRI” atau pintu keluar masuk aktivitas lintas Negara. Juga sarana transportasi masih terbatas baik darat, laut maupun udara, kegiatan investasi swasta belum berkembang dan hanya didominasi investasi Pemerintah, kebijakan perencanaan spasial atau Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis/ RTR KSN yang tidak sinkron dengan kondisi dan dinamika di lapangan, serta sistem bercocok tanam masyarakat yang masih bersifat tradisional atau lebih mengarah pada pemenuhan konsumsi sehari-hari,” tambahnya.
Hal lain juga disebutkan bahwa MP3EI 2011-2025 sebagai salah satu arah pembangunan ekonomi Indonesia untuk mewujudkan Visi Indonesia 2025, dengan 3 strategi utama yaitu Pengembangan Potensi Ekonomi Melalui Koridor Ekonomi, Penguatan Konektivitas Nasional, Dan Penguatan Kemampuan SDM dan IPTEK Nasional, tampaknya tidak mengakomodir MTB yang merupakan beranda depan NKRI sehingga daerah MTB terkesan dilupakan atau terlupakan.
Selain itu pula, masih terbatasnya sejumlah aspek pelayanan dasar seperti minimnya infrastruktur pendidikan dan tenaga pengajar, minimnya sarana-prasarana serta tenaga kesehatan antara lain dokter spesialis dan tenaga medis lainnya, minimnya jaringan air bersih dan listrik baik untuk kebutuhan perumahan, produksi maupun fasilitas umum serta tingginya biaya transportasi umum.
Untuk itu, Pemda MTB, menurut Wabup, memberikan 9 butir rekomendasi kepada Pempus untuk menjadi perhatian serius yaitu mendorong upaya pemerintah pusat untuk mengkaji kembali perjanjian Batas Maritim Indonesia-Australia, mendorong Pempus dalam rangka upaya penguatan fungsi pasukan pengamanan perbatasan (PAMTAS) dengan melengkapi fasilitas baik alutsista maupun fasilitas pendukung operasional pamtas lainnya serta perbaikan kesejahteraan, segera melaksanakan perundingan dan perjanjian Lintas Batas Negara (Border Cross Agreement) dengan negara tetangga terdekat (Australia dan Selandia Baru) mengenai pintu masuk yang disepakati bersama di Kabupaten MTB sesuai perencanaan spasial RTR KSN (Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional) dimana hal ini juga telah dikonsultasikan dengan Kanwil KemenkumHam Promal dan Kementrian Hukum dan HAM, menempatkan unit-unit Pelayanan dan Pengawasan Lintas Batas Negara (Custom, Imigration dan Quarantine) sejalan dengan kebijakan penempatan PLBN di Kabupaten MTB oleh Pempus, Mengkaji kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan tentang penetapan Desa Pintu Gerbang (lokasi PLBN Laut) agar dapat disesuaikan dengan kondisi dan dinamika di daerah.
Selain itu, Pemda MTB mendorong peran swasta sebagai mitra pembangunan kawasan perbatasan melalui kegiatan-kegiatan investasi, optimalisasi sinkronisasi pelaksanaan rencana pengelolaan perbatasan (Grand Design dan rencana induk dengan dokumen perencanaan lainnya misalnya MP3EI, penataan kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan, terutama penataan kewenangan untuk menghindari tumpang tindih pelaksanaan tugas /fungsi instansi/unit kerja lain serta mendesak pemerintah pusat untuk mengoptimalkan peran dan fungsi PKSN sesuai dengan arah pengembangan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau RTRWN. (mon)