Pendidikan

Di Diskusi Publik FH Unpatti, Widya Pratiwi Bahas Pelanggaran HAM Kelompok Rentan

7
×

Di Diskusi Publik FH Unpatti, Widya Pratiwi Bahas Pelanggaran HAM Kelompok Rentan

Sebarkan artikel ini

Widya Pratiwi Diskusi Publik Kelompok Rentan


Ambon, Dharapos.com
– Bunda Literasi Provinsi Maluku Widya
Pratiwi Murad jadi Keynote Speaker dalam diskusi publik bertema “Literasi
Digital bagi Kelompok Rentan di Kota Ambon”, yang diselenggarakan oleh Lembaga
Bantuan Hukum dan Klinik Hukum Fakultas Hukum (FH) Universitas Pattimura,
berpusat di Auditorium Fakultas Hukum. Jumat (14/4/2023).

Kegiatan yang dibuka Dekan Fakultas Hukum Unpatti turut
dihadiri para Wakil Dekan Fakultas Hukum, Ketua Lembaga Badan Hukum dan Klinik
Hukum Fakultas Hukum Unpatti, Ketua Dharma Wanita Persatuan Provinsi Maluku,
para mahasiswa, dan bertindak selaku narasumber Koordinator Pusat Data dan
Informasi Unpatti Benhard Mattheis dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Maluku
Melky Lohy yang memberikan materi Peran Diskominfo dalam Meningkatkan Literasi
Digital.

Widya dalam sambutannya mengatakan, kemajuan digital dan
pemberdayaan kelompok rentan menjadi tema bahasan menarik dalam kegiatan ini.

Disebut menarik karena itulah salah satu tantangan yang
muncul seiring dengan berlangsungnya transformasi digital kontemporer, yakni
dengan adanya kelompok yang rentan terdampak oleh kemajuan teknologi dan
digitalisasi.

“Masyarakat dunia telah mengakui berbagai bentuk keberagaman
mulai dari yang bersifat ciri fisik, hingga identitas sosial. Beberapa kelompok
memiliki bentuk keberagaman yang unik dan khas, sehingga membutuhkan akses
lebih untuk mendapatkan layanan dasar dan kelompok ini disebut kelompok rentan,”
jelasnya.

Widya menyampaikan, berdasarkan United Nation Office for Disaster Risk Reduction dijelaskan,
tantangan sebagai faktor fisik sosial, ekonomi dan lingkungan yang menyebabkan
seseorang atau suatu komunitas semakin rawan mengalami keparahan akibat bencana
dan menurut pasal 5 ayat 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dinyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

“Komnas HAM menyatakan kelompok rentan dan minirotas yang
meliputi perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat hukum adat, orang
lansia, masyarakat miskin, kelompok minoritas berdasarkan agama, ras, dan suku,
dan kelompok minoritas berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender
sebagai kelompok khusus. Kelompok khusus merupakan mereka yang sering mengalami
hambatan sehingga menyebabkan keterlanggarnya hak, dikarenakan kerap mengalami
diskriminasi oleh budaya masyarakat. Komnas ham dapat kerap menemukan
diskriminasi dan perlakuan tidak menyenangkan, dari segi aksesibilitas fisik,
ekonomi, maupun hukum terhadap kelompok ini,” paparnya.

Lanjut Widya, Indonesia telah memulai program Literasi
Digital Nasional sejak Mei 2021, dimana pemerintah merencanakannya agar mampu
menjangkau sekitar 50juta rakyat hingga 2024, dan diharapkan jumlahnya terus
meningkat seiring berjalannya waktu.

Ia menjelaskan, literasi digital adalah kemampuan untuk
memahami dan memakai informasi dari berbagai sumber yang bisa diakses melalui
perangkat komputer, karena melalui perangkat ini juga informasi dapat diakses
dan disebarluaskan dengan menggunakan jaringan internet.

“Dari buku literasi digital, Unesco menjelaskan literasi
digital yang berkaitan dengan life skill, yang tidak hanya melibatkan teknologi
saja, tetapi juga kemampuan untuk belajar, berfikir kritis, kreatif, inovatif,
untuk kompetensi digital. Jadi literasi digital adalah kemampuan untuk memahami
dan menggunakan sumber informasi melalui komputer. konsep baru ini tidak hanya terkait
penguasaan komputer secara teknis, tetapi juga pengetahuan dan emosi dalam
menggunakan media dan perangkat digital,” jelas Widya.

Menurut dia, dalam kenyataan ditunjukan bahwa Indonesia
mulai banyak memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kelompok rentan, tapi tingkat implementasinya sangat beragam. Dimana sebagian
UU sangat lemah pelaksanaannya sehingga keberadaaannya tidak memberi manfaat
bagi masyarakat.

Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang
belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan
bagi perlindungan kelompok rentan.

“Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan
mayoritas di negeri ini memerlukan Tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan mereka melalui penegakkan hukum dan Tindakan legislasi lainnya. Hak
asasi orang-orang yang diposisikan sebagi masayarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan
juga keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi
masyarakat,” terang Widya.

Selama ini, diakuinya, kebijakan Pemerintah lebih banyak
berorientasi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi,
sosial dan budaya.

Di lain pihak, hak-hak yang terdapat di dalam komunitas
masyarakat rentan belum mendapat prioritas dari kebijakan tersebut, sedangkan
permasalahan yang mendasar di dalam komunitas masyarakat rentan adalah belum
terwujudnya penegakan perlindungan hukum yang menyangkut hak-hak kelompok
rentan ini.

“Era digitalisasi ini membuka pengertian dimana HAM yang
perlu di lindungi dari ancaman otoritarianisme digital, penyalahgunaan data,
dan desain tata Kelola digital yang tidak human sentris. Selain agitasi dalam
kebebasan berpendapat transformasi digital juga membuka celah ketimpangan yang
besar, apabila tidak disertai dengan pembangunan infrastruktur dan regulasi
digital yang mumpuni,” ujarnya.

Widya mengungkap, semakin kegiatan sosial ekonomi bermigrasi
ke dunia digital, maka semakin tinggi disparitas ekonomi dan kecakapan yang
dialami warga di daerah. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat
tidak berjalan baik tanpa peningkatan infrastruktur teknologi yang merata.

“Olehnya itu ada beberapa hal penting yang dapat mencegah
pelanggaran ham di era digital, yakni penguatan partisipasi dan komitmen
multipihak pada transparasi dan demokratisasi data, membentuk perantara
regulasi data dan digital yang berorientasi kemanusiaan (bukan profit ataupun
kekuasaan politik), meningkatkan Pendidikan soal privasi dan wawasan keadilan
gender dirana digital, serta menyediakan kerangka aturan untuk pengawasan etika
ataupun batasan kampanye politik berbasis data,” terangnya.

Pada kesempatan itu juga turut diserahkan 70 paket bantuan
kepada Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, Himpunan Wanita Disabilitas
Indonesia, dan GWL SMM.

(dp-19)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *