![]() |
Yanni, SH |
Papua, Dharapos.com
Wakil Ketua III DPR Papua, Yanni, SH mengatakan, SK Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor. 11 tahun 2015 tentang Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota serta Calon Walikota dan Wakil Walikota Orang Asli Papua (OAP) itu harus di pertimbangkan dan kaji kembali karena Keputusan MRP tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Jadi, keputusan MRP itu perlu dipertimbangkan dan kaji kembali,” kata Yanni kepada wartawan di Jayapura, baru-baru ini.
Lebih lanjut, kata Yanni, keputusan lembaga kultur orang asli Papua ini sangat bertantangan dengan UU Otsus Nomor 21 maupun Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tidak mengatur tentang persyaratan OAP bagi calon Bupati dan Wakil Bupati maupun Walikota dan Wakil Walikota.
Didalam UU Otsus nomor 21 tahun 2001, ujar Yanni, syarat OAP dalam pilkada hanya berlaku bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana yang diatur dalam pasal 12 huruf a Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus).
“Keinginan MRP ini sebenarnya bukan wacana baru, karena pada tahun 2009, MRP pernah mengeluarkan keputusan yang sama yang populer dengan SK 14 Thn 2009. Namun pada akhirnya SK 14 tersebut tidak bisa diberlakukan karena bertantangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada,” tegasnya.
Seharusnya, lanjut Yanni, dari pengalaman tahun sebelumnya MRP dapat menahan diri untuk tidak terjebak pada kebijakan yang melanggar hukum, sehingga eksistensi dan kemurnian MRP sebagai lembaga kultur orang asli Papua harus dijaga.
“Kan sangat disayangkan kalau keputusan MRP tidak dapat diberlakukan karena dinilai melanggar norma hukum yang ada. Ini dapat menjatuhkan kewibawaan dan integritas MRP itu sendiri,” jelasnya.
Politisi Partai Gerindra ini juga mengatakan, keputusan MRP bisa dapat menghambat pesta demokrasi Pemilukada serentak di 11 Kabupaten di Papua semester I pada bulan Desember 2015.
“Lebih baik MRP fokus pada tugas dan kewenangannya yang diatur dalam Undang-undang otsus, mengingat masih banyak hak-hak dasar masyarakat Papua yang perlu diproteksi,” ungkapnya.
Ditegaskannya, keputusan MRP ini bisa dianggap sebagai tindakan melampaui kewenangan yang diberikan Undang-undang.
“Kalau MRP bersikeras dengan keputusannya bisa dianggap melampaui kewenangan Negara,”tegasnya.
Bahkan, lanjut Yanni, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak akan terpengaruh dan profesional berdasarkan asa legalitas dalam melaksanakan pesta demokrasi 5 tahunan itu.
“Saya yakin sekalipun MRP mengeluarkan keputusan yang sama seperti SK 14 tahun 1999 dulu, KPUD tidak akan terpengaruh, karena KPUD bekerja secara profesional dan berdasarkan asas legalitas yang diatur oleh undang- undang,” tegasnya lagi.
DPRP Dukung Penggalangan Dana Untuk Tim Adhok Yang Dilakukan FIM
![]() |
Mathea Mamoyau |
Sementara itu, Sekretaris Komisi I DPR Papua yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM, Mathea Mamoyau mengatakan, aksi penggalangan dana yang dilakukan oleh mahasiswa Papua yang tergabung dalam Forum Independen Mahasiswa (FIM) dinilai wajar sebagai bentuk dari keinginan masyarakat Papua dalam mendukung tim adhock Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus Paniai agar kasus Paniai berdarah beberapa bulan lalu.
“Saya pikir itu sangat perlu sehingga tidak usah dibubar dan kita harus dukung aksi itu,” kata Mathea kepada wartawan di Jayapura, Kamis (25/6).
Menurut Mathea, aksi penggalangan dana tersebut sah-sah saja dan seharusnya di dukung oleh semua pihak yang merasa prihatin dengan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.
“Ini untuk mendukung penyelesaian kasus Paniai, kalau aksi ini terus dibubarkan berarti seakan menghambat pengungkapan kasus pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai,” tegasnya.
Untuk itu, dirinya menghimbau kepada masyarakat yang memiliki hati dan peduli dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua agar dapat mendukung upaya-upaya penyelesaian kasus yang terjadi di Paniai.
“Saya minta kepada saudara-ssaudara yang punya hati untuk memberikan apa yang ada pada mereka untuk mengungkap kasus kekerasan di papua, tolong dukungannya,”harapnya.
Dikatakannya, Tim adhock Komnas HAM yang independen tidak mau mendapat biaya dari Negara karena dirinya menilai akan ada intervensi dari pihak ketiga.
“Mereka (tim Adhock Komnas HAM) tidak mau dana Pemerintah karena aka nada intervensi dari Pemerintah. Kalau itu murni dari masyarakat untuk mengungkap sesuai itu wajar,” ujarnya.
(dp-30)