Hukum dan Kriminal

Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur Terus Meningkat Di MTB

10
×

Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur Terus Meningkat Di MTB

Sebarkan artikel ini
Edu Futwembun
Eduardus Futwembun, SH

Saumlaki, Dharapos.com
Tingginya kasus Kekerasan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Maluku Tenggara Barat hingga saat ini dilaporkan terus melambung.

Sesuai data yang dimiliki oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan POSBAKUMADIN MTB menyebutkan jika hingga kini dari total penanganan perkara yang ditangani oleh LBH selama tahun 2015 menunjukan bahwa angka kekerasan seksual meningkat hingga 80 persen.

as

Ketua LBH dan POSBAKUMADIN Buana Informasi Indonesia MTB – Eduardus Futwembun,SH dalam keterangan persnya kepada wartawan di ruang kerjanya Rabu (1/7) menyebutkan bahwa meningkatnya kasus tersebut dikarenakan masih minimnya kesadaran hukum oleh masyarakat sehingga acapkali perbuatan-perbuatan bejad tersebut dengan masih terus terjadi.

“Jadi kasus pemerkosaan dan cabul terhadap anak dibawah umur di MTB yang kami tangani di tahun ini meningkat hingga 70 sampai 80 persen, berbeda dengan kasus criminal lain yang grafiknya mulai menurun,” tuturnya.

Futwembun mencontohkan salah satu kasus yang sangat tragis adalah adanya pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya sendiri pada salah satu desa di Seira – kecamatan Wermaktian.

Diceriterakannya bahwa kejadian tersebut bermula dari korban diajak oleh pelaku yang adalah ayahnya sendiri untuk pergi ke kebun sepulang sekolah. Bunga (nama samaran) yang baru berusia 14 tahun dan masih mengenyam pendidikan di bangku SMP itu akhirnya menuruti perintah orang tuanya.

Sebagai anak yang patuh kepada orang tua, Bunga akhirnya patuh dan taat kepada ayahnya di saat ayahnya menyetubuhinya. Kejadian tersebut telah terjadi berulang kali, namun sepandai-pandainya tupai meloncat namun akhirnya jatuh juga.

Kasus itu akhirnya menambah rentetan panjang daftar “kasus hitam” yang disidangkan di Pengadilan Negeri Saumlaki, dimana pada kasus ini, majelis Hakim PN Saumlaki memvonis terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun pada bulan Juni lalu.

“Kalau kasus penganiyayaan terhadap anak, disini ada tetapi grafiknya tidak terlalu menonjol. Sekarang lebih banyak seksual. Dan saat ini masih ada beberapa yang antri untuk disidangkan,” urainya.

Untuk itu Futwembun mendesak Pemda MTB untuk lebih gencar melakukan sosialisasi terhadap UU No 35 tahun 2014 dan perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 karena hukuman minimalnya 5 tahun dan ancaman hukuman subsider atau dendanya bisa mencapai Rp. 1 Milyar.

Selain itu, dirinya meminta agar perlu dibentuknya lembaga-lembaga perlindungan anak, perempuan dan saksi di MTB untuk menekan semakin tingginya angka kekerasan seksual dan kekerasan psikis.

Sebelumnya Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana MTB, Ny. Blendy J. Souhoka, S.STP di ruang kerjanya mengakui baru melakukan identifikasi disaat pihaknya membentuk pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak yang bertujuan melakukan pendampingan terhadap perempuan dan anak di MTB belum lama ini.

Pembentukan pusat pelayanan terpadu tersebut merupakan gabungan dari unsure Satuan Kerja Perangkat Daerah yang secara juga teknis bergerak dibidang perempuan dan anak seperti Bappeda, Dinaskes, Bagian Hukum Setda MTB, dan sejumlah ormas yang bergerak dibidang Perempuan dan anak.

Kasus kekerasan terhadap anak yang semakin tinggi tersebut akhirnya mendorong pihaknya untuk bekerja secara maksimal dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat bahkan hingga pendampingan terhadap para korban kekerasan yang membutuhkan pendampingan hukum.

“Informasi yang kami peroleh dari pihak berwajib, dalam satu minggu itu bisa sampai empat kasus terlaporkan untuk kekerasan terhadap anak dan akhirnya memang kami sementara konsen untuk kasus-kasus tersebut. Kemarin ada beberapa kasus yang harus difasilitasi oleh pusat pelayanan terpadu antara para korban dengan pihak polres MTB,” ungkapnya.

Meskipun tidak memrinci jenis kasus, identitas korban dan pelaku serta modus yang dilakukan para pelaku namun di tahun kemarin, ada beberapa kasus yang menonjol seperti kasus pelecehan seksual, kasus pemerkosaan anak di bawah umur, bahkan ada pula kasus pedofil yang semakin banyak terjadi, bahkan ironisnya dilakukan oleh orang tua kepada anaknya sendiri, ada kakek ke cucunya, dan juga ayah ke anak tirinya.

Selain upaya penegakan hukum, pihaknya juga mendorong berbagai upaya gerakan penyadaran melalui sosialisasi agar hal tersebut dapat dipandang sebagai pembunuhan karakter dan kehidupan anak, sehingga bisa menjadi perhatian masyarakat secara umum.

Kepala Dinkes MTB dr. Juliana Ch. Ratuanak dalam keterangannya pada salah satu kegiatan belum lama ini juga merilis data hasil survei salah satu lembaga survei nasional di Jakarta yang menyebutkan bahwa lebih dari 30% anak usia remaja di Indonesia mengaku telah mengalami korban seks.

Hal ini disebabkan oleh pelampiasan hasrat dan keinginannya akibat lebih sering menonton video pornografi yang beredar di masyarakat.

Fenomena ini menurutnya perlu menjadi penanganan serius semua pihak sehngga dapat mengatasi tingginya angka kekerasan seksual teristimewa terhadap anak di bawah umur.

Yang lebih memprihatinkan lagi persoalan penanganan sejumlah kasus serupa di MTB oleh masyarakat masih di selesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum adat yang pada intinya tidak membuahkan efek jera bagi pelaku.

Yang pasti, Pemda MTB di tahun 2014 lalu telah gencar melakukan berbagai cara untuk menekan semakin tingginya kekerasan terhadap anak. Sebut saja, Bupati MTB yang beberapa kali melakukan tatap muka dengan para guru se MTB selalu saja mendorong para guru untuk tidak lagi menggunakan rotan atau kayu untuk mendidik anak.

Menurut Bupati, meskipun capaian pembangunan fisik di MTB semakin meningkat sesuai akselerasi yang baik tetapi tidak sesuai dengan pembangunan sikap dan mental. Ada berbagai perubahan sosial tetapi memunculkan berbagai dampak negatif seperti kekerasan terhadap anak yang terjadi di sejumlah sekolah.

Untuk itu, realitas ini perlu menjadi perhatian semua pihak teristimewa para guru, dengan demikian kekerasan terhadap anak di sekolah bisa diminimalisir.

Hal yang menonjol dan menjadi perhatian serius Pemda MTB di tahun 2014 lalu adalah semakin tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di tahun 2013 meningkat hingga lebih dari 80 kasus.


(dp-18)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *