![]() |
Balai Desa Abat yang pembangunannya dilakukan diatas fondasi lama |
Saumlaki, Dharapos.com
Masyarakat Desa Abat di kecamatan Wuarlabobar mengeluhkan tidak transparannya penggunaan anggaran desa yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) di tahun 2015 maupun tahap pertama di tahun 2016.
Salah satu tokoh pemuda di desa Abat yang meminta namanya tidak dipublikasikan kepada wartawan di Saumlaki, Rabu (16/11) menuturkan sejumlah dugaan kejanggalan yang dilakoni sang kades Abat, Martinus Watwahan.
“Dana pembangunan balai desa Abat ini sebagaimana yang kita tahu ada sekitar Rp 100 juta lebih. Dan ada anggaran untuk upah kerja namun sampai selesai dikerjakan kita tidak terima upah kerja,” beber sumber.
Selain itu, bangunan balai desa tersebut dikerjakan di atas fondasi yang lama, padahal sesuai RAB itu harus ada fondasi yang baru.
Sumber memperkirakan total penggunaan anggaran untuk pembangunan balai desa itu hanya menelan biaya senilai Rp 50 juta lebih, oleh karena material bangunan seperti batu, pasir dan air itu ditanggung oleh masyarakat sebagaimana penjelasan Kades kepada masyarakat bahwa pekerjaan pembangunan balai desa itu dilakukan secara swadaya.
“Bangunannya tengah berbahan kayu jadi kita pastikan bahwa anggarannya tidak banyak. Masyarakat sudah sampaikan keluhan mereka untuk BPD, tapi ketua BPD tetap diam karena masih ada hubungan keluarga dengan Kades,” bebernya lagi.
![]() |
Pembangunan Gasyebo adat yang juga belum rampung |
Kades dinilai selama ini terkesan tutup mulut soal penggunaan keuangan desa yang bersumber dari ADD dan DD, padahal di saat perencanaan program desa, masyarakat turut terlibat.
Sumber juga melaporkan sejumlah program yang telah dilaksanakan namun belum rampung, padahal anggaran tahap pertama ADD dan DD 2016 telah habis terpakai seperti pembangunan TK dan pembangunan gasyebo adat.
Karena kehabisan dana, Pemdes kemudian menggunakan bahan bangunan gereja setempat.
Selain itu, ada salah satu program yang terpaksa tidak dijalankan yakni Musyawarah Pemuda Adat yang semestinya dilaksanakan pada Oktober lalu sebagaimana program kerja desa.
“Karakter dia (Kades, red) di kampung itu seperti raja, dia tidak mau dengar usulan masyarakat. Dia bisa karaoke dari pagi sampai malam dan mengganggu ketenteraman masyarakat, minum mabuk setiap saat, selalu menggunakan kekerasan fisik kepada masyarakat jika bersalah. Kami bingung mau lapor ke mana pak? Jadi kami berharap kepada Pemerintah Daerah MTB untuk segera mengusut yang bersangkutan sehingga dia bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya,” harapnya.
Terkat laporan masyarakat ini, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Youngki Souisa menjelaskan bahwa ditahun 2015, desa Abat memperoleh dana transfer dari Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp.112.244.000.
Sedangkan dana transfer yang berasal dari dana desa itu sebesar Rp. 288.351.000 atau totalnya kurang lebih Rp.400.000.000.
![]() |
Pembangunan gedung TK yang hingga saat ini masih berupa fondasi |
Dana tersebut untuk membiayai empat bidang yakni bidang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.
“Untuk pembangunan balai desa di tahun 2016 itu Rp.143.182.000 itu untuk ADD. Nah, terkait dengan persoalan-persoalan di masyarakat, kami minta masyarakat juga untuk tolong melaporkan hal itu kepada BPD karena secara kelembagaan, BPD mempunyai tugas untuk mengawasi seluruh pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk didalamnya juga pembangunan di desa sebagaimana amanat UU nomor 6, mereka diminta untuk melakukan musyawarah untuk menyelesaikan persoalannya,” kata Souisa yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (16/11) siang.
Dikatakan, jika hasil musyawarah di desa sudah ditetapkan tetapi tidak ditindak lanjuti, maka masyarakat dihimbau untuk mengajukan laporan kepada BPMD, sehingga persoalan di desa bisa didorong untuk diselesaikan.
“Saya himbau kepada masyarakat di Abat agar menggunakan kelembagaan di desa untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kami siap menindaklanjuti dengan cara turun ke desa apabila ada temuan-temuan yang mencurigakan. Memang kami mewajibkan mereka untuk menyertakan dokumentasi kegiatan mulai dari nol persen sampai tahap 100 persen,” sambungnya.
Terkait adanya pencoretan atau penghilangan sejumlah program kerja desa oleh BPMD pada saat melakukan evaluasi, Souisa mengakui bahwa hal itu dilakukan pada sejumlah desa termasuk desa Abat karena ada kegiatan yang tidak sesuai dengan prioritas masalah-masalah di desa sehingga perlu disesuaikan.
(dp-18)