![]() |
Edo Dumatubun, Sang Manusia Ambulance |
Langgur, Dharapos.com – Umumnya, jika ada pasien yang meninggal di rumah sakit tentu diantarkan oleh mobil ambulance ke rumah keluarga sang pasien.
Nah, bagaimana jika fungsi dari mobil itu dilakoni (dilakukan) oleh seorang manusia biasa ? Tentu ini sesuatu hal yang sangat luar biasa dan langka.
Di Kepulauan Kei, sebutan khas Kabupaten Maluku Tenggara, tepatnya di Desa Langgur, diantara tahun 1973 hingga 1983, ada sesosok pria yang dijuluki “Manusia Ambulance”.
Edo Dumatubun, begitulah nama pria tersebut, yang kala itu bekerja di sebuah bengkel milik Misi di Langgur.
Kepada media ini di rumahnya di Langgur, Selasa (29/10/2019), pria yang akrab disapa Edo ini menceritakan suka-duka ketika dirinya dengan ikhlas dan penuh cinta melakoni tugasnya sebagai pengantar jenazah.
“Saya bukan tiinggal di rumah sakit Langgur. Saya waktu itu bekerja di bengkel Misi saja. Waktu itu ada satu anak meninggal lalu beberapa pegawai di rumah sakit itu minta tolong saya untuk antar jenazah,” ceritanya.
Menurut Edo, pada waktu itu tidak ada satupun pegawai RS Langgur yang berani antar jenazah kembali ke keluarga di kampung-kampung karena pada waktu belum ada mobil ambulance.
“Waktu itu pegawai-pegawai RS Langgur tidak ada yang berani antar jenasah pulang ke kampung-kampung. Belum ada mobil ambulance waktu itu dan mereka minta tolong saya untuk antar jenasah (mayat, red) ke kampung. Saya antar dari RS Langgur hanya dengan jalan kaki saja,” akuinya.
Edo yang saat itu masih berusia 45 tahun, mengantar jenazah (usia anak-anak dan remaja) dengan cara digendong atau dipikul.
Ia mengaku pernah mengantar jenazah malam-malam ke desa Danar (kampung Islam).
Menurut Edo, dulunya rumah-rumah di kampong Danar itu masih atap gaba-gaba semua, sekarang semua sudah permanen. Jadi sekarang saya tidak tahu dong tinggal dimana,” bebernya.
Edo mengantarkan jenasah dari RS Langgur pukul 22.00 Wit dan tiba di Danar pukul j10.00 Wit keesokan harinya.
“Setelah saya sampai di kampung dan serahkan jenazah ke keluarga habis itu langsung saya pulang,” tambahnya.
Edo mengisahkan selama melakukan aktifitas mengantar jenazah itu dia lakukan sendiri tanpa bantuan orang lain maupun bantuan peralatan lainnya.
“Selama saya jalani pekerjaan itu, kurang lebih 20 jenasah yang saya antar. Saya antar waktu siang dan juga malam. Bahkan ada yang saya antar jam 8, jam 9, jam 10 ada pula yang jam 11. Itu semua saya antar malam-malam,” bebernya.
Sepuluh tahun Edo Dumatubun, sang Manusia Ambulance melakoni tugas mulianya itu dari 1973 hingga 1983.
Tahun 1983, barulah dirinya pensiun dari aktifitas sebagai “Manusia Ambulance” karena saat itu sudah ada mobil ambulance.
“Tahun 1973 ke atas itu belum ada jalan aspal, semua masih hutan rimba, belum ada rencana bikin aspal juga. Semua masih jalan tanah saja, baru sepanjang jalani tu berdiri pohon-pohon besar,” ujarnya.
Dimasa-masa itu, keluarga yang anaknya meninggal dunia memang terkendala tidak bisa datang untuk mengambil jenasah di RS karena tidak adanya perhubungan.
Semua keluarga hanya berharap anak mereka yang dirawat di RS itu bisa sembuh.
Selain itu, warga masyarakat juga diperhadapkan dengan kondisi susahnya mencari uang untuk membayar biaya pengobatan.
Bahkan, terkadang para keluarga pasien terpaksa menggali hasil kebun barulah diantar ke RS sebagai bayaran agar anak mereka bisa keluar.
“Waktu itu kita semua hidup memprihatinkan, susah cari uang dan juga tidak ada perhubungan makanya pihak RS waktu itu minta tolong saya antar jenazah. Dan sejak itu, setiap ada anak-anak atau orang dewasa meninggal di RS Langgur dan harus diantar pulang ke kampung maka saya dengan ikhlas dan penuh cinta mengantarnya,” tuturnya dengan wajah sedih.
Untuk diketahui, sejumlah desa sudah pernah disinggahi Manusia Ambulance ini demi menghantar jenasah kepada sanak keluarganya. Diantaranya, Desa Danar, Abean/Watngon, Dian Darat, Kolser, Ngilngof, dan yang paling banyak yakni ke Desa Watran.
“Saya tidak ada rasa takut sedikitpun, karena saya lakukan itu dengan ikhlas dan penuh cinta. Saya tidak butuh apa-apa dari RS atau Pemda, karena yang saya lakukan saat itu adalah murni rasa kemanusiaan. Saya tidak pernah minta dibayar satu sen pun,” bebernya.
Pria asal Desa Langgur tersebut percaya akan kuasa dan kasih Tuhan selama melakoni pekerjaan sebagai pengantar jenazah saat itu.
“Saya percaya dengan apa yang tertulis di kitab suci bahwa kalau ada orang yang susah harus ditolong, siapa yang telanjang harus kita kasih pakaian,” tukasnya.
Edo Dumatubun yang akan memasuki usia 70 tahun dikaruniai 7 orang anak (putra-putri), menghabisi kesehariannya sebagai petani (berkebun). Hasil dari berkebun itu selanjutnya dijual ke pasar.
Sang “Manusia Ambulance” sungguh mulia dan tulus jiwa raganya, mengabdi dengan penuh cinta dan ikhlas tanpa bayaran apapun selama bertahun-tahun sebagai pengantar jenazah.
(dp-49)