Daerah

“Falsafah Yang Mempersatukan” Karya M. Muzni Wokanubun

7
×

“Falsafah Yang Mempersatukan” Karya M. Muzni Wokanubun

Sebarkan artikel ini

M Huzni Wokanubun
M. Muzni Wokanubun, dosen muda STIS Tual

Langgur, Dharapos.com – M. Muzni
Wokanubun dikenal sebagai pemerhati masalah sosial yang juga seorang Dosen muda
yang energik, smart dan cerdas.

Ia dikenal masyarakat
maupun kampusnya STIS Tual sebagai seorang pengajar yang selalu kritis dalam berbagai
giat kemahasiswaan.

Kepada media
ini, Wokanubun menceritakan tentang karya yang ditulisnya dengan judul
“Falsafah yang Mempersatukan”.

Menurutnya, berbeda
pandangan politik itu sesuatu yang lumrah bahwa dalam kesamaan, selalu ada
perbedaan artinya hidup itu ada variasinya.

Sejarah
pernah mencatat pergulatan pemikiran antara Soekarno dan Sutan Syahrir. Sampai-
sampai Soekarno pernah mengambil langkah politik tanpa belas kasih terhadap
Syahrir.

Tetapi
ketika Syahrir mangkat, Soekarnolah yang menganugerahinya gelar pahlawan
nasional.

Dari situlah
terbangun satu negeri bernama Indonesia.

Mereka
(Soekarno dan Syahrir) sadar bahwa keadaban sosial merupakan tujuan dalam
berbangsa dan bernegara, sesuatu yang perlu dirawat dan selalu disucikan agar
tidak bercerai.

Wokanubun
mengatakan ada semacam kekhawatiran bersama jangan sampai moralitas terpisah
dari religiositas, etika terpisah dari hukum dan prinsip tergeser oleh
pragmatisme.

“Sebab
keteladan pemimpin adalah sesuatu yang diwariskan bukan dipertontonkan,”
jelasnya.

Menurut
Wokanubun, pemimpin yang hebat dalam tindakan selalu memberi hidup seperti
sungai yang terus mengalir memberikan kesejukan hidup dan menginspirasi orang
lain untuk bermimpi dan belajar.

“Itu,
sedikit pelajaran sejarah yang saya dapat dibangku sekolah,” kisahnya.

Dari tempat
yang jauh. Saya, dan tentunya semua orang kei. Sebelum mengenal baca tulis
tentu sudah dan akan mewarisi pesan leluhur; falsafah yang dijadikan pandangan
hidup.

Ya, Adat.
Sebelum orang Eropa fasih berbicara tentang hak asasi manusia (HAM) kita orang Kei
sudah lebih dulu mengenal “Hira Ini Ntub Fo Ini, It Did Natub Fo It Did,”  yang artinya apa yang menjadi hak milik
orang, tetap akan selalu menjadi hak milik orang tersebut.

Sebelum kita
mengenal indoktrinasi Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika, kita orang Kei
sudah lebih dulu mengenal “Ain Ni Ain,” yang menjelaskan bahwa kita memiliki
agama dan kepercayaan yang berbeda namun saling memiliki rasa persaudaraan
karena berasal dari satu.

Sebagai
pedoman dan falsafah hidup.

Sebagai
sesuatu yang dihitung sebagai adat Kei yang kita miliki sekarang memiliki
kekhasan dan eksotisme untuk itu perlu kita jaga dan wariskan bersama.

“Mari
berpikir berpikir global, bertindak local,” pungkasnya.

(dp-52)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *