![]() |
| Tim Kajian ICTI yang diketuai Pius Bwariat, dan beranggotakan Yusuf Siletty, Epson Bembuain, W. Melsasail dan M. Batkormbawa saat berada di Desa Watmuri |
Saumlaki, Dharapos.com
Ikatan Cendekiawan Tanimbar Indonesia (ICTI) mengaku menemukan sejumlah fakta baru tentang kesalahan fatal yang dilakukan oleh PT. Karya Jaya Berdikari (KJB).
PT. KJB adalah perusahaan pemegang Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam di atas areal produksi seluas 93.980 hektar dari Menteri Kehutanan di tahun 2009 dan saat ini sedang beroperasi di hutan pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB).
“Kami baru saja selesai melakukan kajian dampak lingkungan dan dampak sosial serta meninjau langsung lokasi kerja HPH Yamdena yakni di petuanan desa Arma dan Watmuri kecamatan Nirunmas dimana banyak sekali persoalan yang terjadi dan selama ini dirasakan langsung oleh masyarakat,” ungkap Pius Bwariat, Ketua ICTI yang ditemui di Saumlaki, Minggu (29/10).
Selain dirinya, tim kajian ICTI tersebut beranggotakan Yusuf Siletty, Epson Bembuain, W.Melsasail dan M. Batkormbawa.
Pius menyatakan yang mendasari langkah ICTI untuk melakukan kajian tersebut adalah adanya kekhawatiran terhadap hasil kajian tim teknis yang diterjunkan oleh pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa hari kemarin di lokasi HPH.
“25 tahun kami menentang HPH di Yamdena dan ini bukan hal baru. Nah, kami memutuskan untuk melakukan ini karena saat pertemuan bersama antara Pemkab MTB, Pemprov Maluku dan pihak KJB bersama Kementrian LH dan Kehutanan serta sejumlah elemen itu ada empat elemen yang pro terhadap HPH sementara yang menolak hanya Pemkab MTB dan ICTI sehingga kami meragukan kerja tim yang terdiri dari empat elemen itu,” bebernya.
Fakta membuktikan bahwa banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh PT. KJB.
Pius mengaku sejumlah temuan tersebut telah di data dan akan dilaporkan langsung kepada Pemkab MTB, Menteri LH dan Kehutanan serta Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat.
Sekaligus juga mendesak orang nomor satu di Indonesia ini untuk memerintahkan Menteri LH dan Kehutanan mencabut izin operasional secara permanen dari PT. KJB.
“Saat pihak KJB memaparkan laporannya di Kementrian itu luar biasa tetapi fakta di lapangan berbalik 180 derajat. Di SK Menteri itu diatur misalnya batas minimum pohon yang bisa ditebang adalah 50 diameter tetapi di lapangan terjadi penebangan pohon yang baru berdiameter 30 dan 40,” bebernya.
Sejumlah persoalan lain seperti penebangan pohon di pinggir Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan aliran sungai, kerusakan ekositem lain, pemberlakuan karyawan yang tidak sesuai dengan UU tenaga kerja, tidak ada pembibitan tetapi mencabut anakan pohon torem dari hutan lalu kembali menanamnya di lokasi dimana baru beberapa hari ditanam anakan pohon itu layu dan mati.
Selain itu, tidak ada klinik yang disediakan bagi para pekerja maupun masyarakat sekitar, serta ICTI juga meragukan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) PT. KJB, yang dinilai merupakan hasil kopi paste karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitar wilayah kerja HPH.
![]() |
| Pius Bwariat, Epson Bembuain dan Jusuf Siletty saat meninjau proses pembuatan air bersih oleh Pemkab MTB di lokasi Desa Arma karena terjadi kekeringan di wilayah itu |
“Mereka mempekerjakan para pekerja seperti kuli di zaman penjajahan. Gaji tenaga kerja di lokasi pesemayam yang kerjanya berjalan mencari anakan pohon torem sejauh tujuh kilometer disertai tanah yang sesuai baru kemudian mengisi di polybag dan menyiram setiap hari itu hanya dihargai dengan Rp60 ribu per hari,” paparnya lagi.
Senada, Epson Bembuain yang juga selaku anak asli Desa Watmuri menyatakan bahwa selama ini pengelolaan hasil hutan di wilayah itu tidak pernah diketahui oleh masyarakat dan sejumlah persoalan lain yang terjadi mengakibatkan masyarakat setempat telah bersepakat untuk menolak HPH.
“Masyarakat Watmuri mendukung seratus persen sikap Pemkab MTB untuk menolak HPH. Kemarin mereka sudah lakukan pertemuan adat dan hari Kamis lalu mereka sudah membuat sembahyang adat dengan satu keputusan yakni menolak HPH dan segera keluar dari hutan Watmuri,” katanya.
Yusuf Siletty, anggota ICTI yang lain mengaku sangat marah karena pihak HPH telah merusak hutan keramat milik marga Siletty di petuanan Arma yakni Gunung Labobar kecil yang dilindungi oleh UU.
Dia menjelaskan bahwa di Pulau Yamdena, hanya ada dua gunung besar yakni Labobar Besar dan Kecil yang memiliki sejarah dan dianggap keramat.
“Kalau ke sana itu semua terlihat dengan jelas yakni ada kepalanya, ada tangannya dan juga ada alat kelaminnya. Tempat itu dinamakan “roh” milik marga Siletty. Nah, ini nilai sejarah yang perlu dijaga tetapi faktanya mereka memotong kaki Gunung Labobar Kecil untuk untuk bangun logpon. Mereka tahu tetapi sengaja merusak nilai sejarah ini,” sesalnya.
Jusuf menduga kuat kalau KJB tidak melakukan proses penanaman kembali sebagaimana diisyaratkan oleh UU, bahkan selama ini terkesan tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Maluku dan pihak Kementrian LH dan Kehutanan RI.
“Kami menduga kuat kalau pohon-pohon baru ditanam beberapa hari sebelum tim kajian dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan turun ke lokasi, karena saat kami turun tadi semua tanaman itu sudah layu, bahkan ada yang sudah mengering,” sambungnya.
Untuk itu ICTI mengajak semua masyarakat di negeri berjuluk “Duan Lolat” ini untuk mendukung
Pemkab MTB yang saat ini tengah berjuang menolak HPH dari bumi Yamdena, sementara Pempus diminta untuk mendengar keluhan masyarakat yang selama ini terus berdoa dan berjuang agar proses penebangan hutan oleh PT. KJB segera dihentikan.
Soal Izin Kajian dari Pemkab MTB
Pemda MTB menyatakan bahwa proses pemberian izin kepada ICTI tersebut merupakan jawaban atas permohonan yang diajukan kepada Bupati melalui dinas teknis.
Karena selama ini Pemkab telah membuka ruang bagi sejumlah instansi untuk melakukan kajian dampak lingkungan, sosial dan dampak lain dari keberadaan HPH di Yamdena.
“ICTI mendatangi Pemkab dan meminta izin untuk melakukan kajian. Mereka tidak bermaksud membuat data pembanding tetapi ingin memastikan fakta di lapangan pasca presentasi pihak KJB di Kementrian LH dan Kehutanan kemarin, dan oleh karena itu kita keluarkan izin,” kata Herman Yoseph Lerebulan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten MTB di Saumlaki, Senin (30/10).
Ia mengakui jika penolakan HPH di Yamdena oleh ICTI telah dilakukan semenjak tahun 1991 bersamaan dengan masyarakat saat itu baik di dalam maupun di luar daerah termasuk di Jakarta dimana ini menandakan bahwa masyarakat sudah muak dengan HPH.
“Tentang hasil kajian ICTI, Pemkab tetap menerima untuk memperkaya proses perjuangan ini,” tukas Lerebulan.
(dp-18)















Pahami jika alam saat ini adalah titipan anak cucu kita, jaga, rabat dan kembalikan lagi pada anak cuci kita suatu saat nanti