![]() |
Potret Kota Ambon. ibukota Provinsi Maluku / Foto : Istimewa |
Ambon, Dharapos.com – “Kota Ambon
ibu negeri tanah Maluku, di pinggir laut tempat kita bersatu, terlihat dari
jauh gunung Salahutu, beta ingat dahulu beta disitu” sekuel lagu Gunung
Salahutu ciptaan Charel Hehanusa, menggambarkan tentang kerinduan anak-anak
Maluku di perantauan akan kampung halamannya.
Ya.. Ambon memang kota kecil nan indah
dihiasi teluknya yang cantik serta keramah tamahan warganya, pantas membuat
banyak orang rindu untuk datang mengunjunginya.
Kota Ambon diusia yang semakin tua,
kini berubah sebagai kota kecil yang padat penduduk. pemukiman muncul
dimana-mana hingga ke lereng-lereng gunung. Daerah Aliran Sungai (DAS) pada
lima sungai besar di ibu kota provinsi Maluku itu, juga tidak luput dari penyerobotan
lahan yang berubah fungsi menjadi pemukiman padat penduduk.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan
Provinsi Maluku, saat ini hampir semua wilayah kota Ambon merupakan daerah
kritis.
Kawasan di dalam maupun di luar
kawasan telah mengalami banyak kerusakan. Dampaknya fungsi hutan sebagai
penyangga menjadi jauh berkurang dan tidak sesuai yang diharapkan.
Daya dukung untuk pemukiman sudah
semakin sempit seiring bertambahnya jumlah penduduk di kota Ambon.
Hasil sensus penduduk Badan Pusat
Statistik (BPS) September 2020 menyebutkan jumlah penduduk kota Ambon kini
mencapai 347.288 jiwa dari total penduduk Maluku sebanyak 1,8 juta jiwa.
Tingginya laju pertumbuhan penduduk di
ibukota Provinsi Maluku ini, tidak diberangi bertambahnya luas areal atau
kawasan. Artinya lingkungan tidak bertambah luas, tetapi penduduk terus
bertambah banyak.
Akhirnya masyarakat memilih menyerobot
kawasan yang sebenarnya menjadi daerah hijau untuk membangun rumah.
Di sisi lain, masyarakat mengklaim
wilayah yang ditempati adalah milikinya, karena mengacu hak-hak petuanan dan
ulayat, sehingga bebas diperjualbelikan, tanpa memikirkan risiko kerusakan
lingkungan serta berdampak lebih besar yang bakal ditumbulkan di masa
mendatang.
Hal ini berimbas maraknya penebangan
pohon, tanpa menyadari resiko besar yang akan terjadi, diantaranya longsor,
banjir dan ketersediaan air bersih.
Bahkan dari hasil penelitian Ambon
akan mengalami krisis air bersih beberapa puluh tahun ke depan, jika daerah
tangkapan airnya tidak segera ditangani dan dibenahi.
Guna mengatasi hal dimaksud, Dinas
Kehutanan Provinsi Maluku kini gencar melakukan berbagai langkah-langkah pelestarian
Daerah Aliran Sungai (DAS), mulai dari indentifikasi lahan prima, lahan rusak
dan lahan kritis, imbauan, edukasi dan sosialisasi kampanye penyadaran publik,
pemasangan batas, pemasangan patok batas DAS serta dan penanaman aneka pohon.
Seluruh kegiatan yang dimulai sejak
2019 lalu dan masih berlanjut di 2021 ini, melalui program Flood Management In
Selected River Basins (FMSRB).
Kampanye publik
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
Maluku, Sadli Iie mengutarakan pihaknya lebih banyak melakukan sosialisasi dan
kampanye untuk mengingatkan warga akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan terutama di bagian hulu DAS.
Kampanye ini sudah dilakukan sejak 2019,
mulai dari sosialiasi kampanye penyadaran publik, sampai pemasangan 15 buah
papan himbauan pelestarian DAS di sejumlah titik kota Ambon, diantaranya Batu
Merah, Air Besar dan STAIN.
Program ini dibiayai Ditjen Bina
Pembangunan Daerah, Kemendagri dengan alokasi dana sebesar Rpp337 juta.
Tahun 2020 dengan anggaran Rp267,4
juta Dinas Kehutanan Maluku kembali melakukan indentifikasi lahan prima, lahan
rusak dan lahan kritis di Negeri Hutumuri, Negeri Rutong, Negeri Soya dan
Negeri Ema, melibatkan tim akademisi Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon.
Dari hasil indentifikasi tersebut,
kemudian dilanjutkan dengan sosailiasi kampanye penyadaran publik, pemasangan
batas himbauan, dan penanaman pohon sesuai lokasi yang telah ditentukan.
Di tahun yang sama Ditjen Bangda
Kemendagri kembali menganggarkan Rp504,1 juta untuk sosialisasi kampanye
penyadaran publik dan pemasangan 20 papan himbauan, melibatkan Dinas Kehutanan,
Bappeda kota Ambon, BPDAS, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) di beberapa lokasi, seperti Batu Meja, Batu Gajah, Urimessing dan Mangga
Dua.
Selain itu dilakukan orientasi awal
dari risalah lapangan, pengukuran dan pemasangan patok batas DAS, dan penanaman
pohon untuk penguatan lereng dengan metode bio engineering sebanyak 13.750
anakan, terdiri dari kayu-kayuan 9.625 anakan dan MPTS atau tanaman produktif
lainnya 4.125 anakan.
Tahun ini, Dinas Kehutanan kembali
memperoleh anggaran Rp839,99 juta untuk berbagai kegiatan yang sudah dan akan
dilaksanakan, mulai dari koordinasi pengumpulan data dan informasi, survei
ground check lokasi kerawanan tanah longsor, orientasi awal dan risalah
lapangan biofisik Sosbud, pemasangan titik ikat, pengukuran dan pemasangan
patok batas.
Selain itu, penanaman 25.000 anakan
pohon terdiri dari 20.000 kayu-kayuan, MPTS atau tanaman produktif jenis
buah-buahan 5.000 anakan di tiga lokasi yaitu Dusun Peru Negeri Soya, DAS Wai
Apu Batu Merah dan DAS Wai Ruhu, sebagai upaya penguatan lereng dengan metode
bio engineering.
Menurut Sadli, pihaknya telah sampai
pada tahapan penentuan lokasi sebagai tindak lanjut orientasi lapangan yang
telah dilakukan. Sekarang tinggal dilanjutkan dengan pengukuran dan sosialiasi
untuk kemudian di pasang patok batas. “Saat ini tinggal kita naik pasang
patok batas, kemudian pembuatan gubuk kerja untuk pengangkutan distribusi bibit
sekaligus penanaman,” ujarnya.
Keroyok bersama
Sadli menyadari berbagai program yang
dilakukan masih jauh dari harapan melindungi Ambon dari ancaman banjir yang
terjadi secara berulang bak “Arisan Bencana” karena kondisi lima DAS
di Ambon semakin kritis dan rusak akibat intervensi manusia yang makin masif
merusak DAS.
Bencana banjir yang melanda hampir
sebagian besar wilayah di Kota Ambon tahun 2017 sesungguhnya merupakan salah
satu potret buruknya pengelolaan DAS di ibu kota provinsi Maluku itu.
Karena itu berbagai program yang
dilakukan Dinas Kehutanan saat ini adalah upaya minimal untuk mengamankan dan
melindungi hulu DAS, yang diharapkan berdampak pada meningkatnya kualitas
perencanaan pengelolaan risiko banjir, kualitas pengelolaan lahan dan
infrastruktur pengendali banjir, peningkatan kapasitas pengelolaan risiko
banjir berbasis masyarakat, serta meningkatnya kualitas koordinasi penyusunan
kebijakan dan pengelolaan risiko banjir.
Hanya saja, untuk implementasinya
bukan hanya menjadi ansi tanggungjawab Dinas Kehutanan.
Seluruh organisasi perangkat daerah
(OPD) terkait baik provinsi maupun Kota Ambon perlu berkolaborasi dan
mengeroyoknya beramai-ramai sesuai fungsi dan perannya masing-masing, guna
memastikan perencanaan dan perbaikan tata ruang.
Warga yang hidup di kawasan hutan maupun
sepanjang DAS juga perlu terus digerakkan untuk terlibat bersama dengan
membentuk kelompok-kelompok masyarakat peduli sungai dan pecinta lingkungan.
“Semakin banyak komunitas
masyarakat peduli lingkungan terbentuk, semakin baik kelestarian lingkungannya,
karena akan terbentuk kesadaran bersama untuk berkolaborasi untuk menjaga,
melindungi dan melestarikan DAS sebagai sumber hidupnya,” tegas Sadli.
Dalam pelaksanaan program FMSRB,
masyarakat tidak dijadikan sebagai subjek tetapi objek yang perlu digerakkan
untuk terlibat langsung, karena dampak positifnya untuk kelestarian lingkungan
dan kesejahteraan warga sekitar. Warga diberi ruang memanfaatkan DAS tetapi
tidak merusak.
Butuh sinergi dukungan seluruh
masyarakat, tokoh agama, pemuka masyarakat, tokoh adat, sehingga seluruh
program yang dilakukan pemerintah melalui program FMSRB dapat berjalan dan
dikelola dengan baik demi kepentingan bersama dan masa depan anak cucu kita,
termasuk insan pers yang memegang peran penting untuk menyosialisasi berbagai program
yang dilakukan program agar diketahui masyarakat,” ujarnya
“Kami tidak bisa sendiri. Harus
lintas sektor karena untuk kepentingan semua orang di Ambon Manise. Karena itu
mari katong keroyok rame-rame lingkungan DAS untuk mewujudkan Ambon manise yang
bebas banjir,” demikian Sadli Iie.
(dp-20)