![]() |
SS dan NA saat dibawah ke mobil tahanan Kejari Kepulauan Tanimbar, Selasa (8/11/2022) |
Saumlaki,
Dharapos.com – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Kepulauan Tanimbar resmi
menahan mantan Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Salvinus
Solarbesain (SS) dan Nik Atdjas (NA), pihak ketiga dalam kasus dugaan tindak
pidana korupsi penyalahgunaan keuangan negara pada pengadaan Sistem Informasi Manajemen
Desa (SIM D) di sejumlah desa se-Kabupaten Kepulauan Tanimbar tahun anggaran
2021.
“Hari
ini, Penuntut umum telah menerima penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap
II) yang berasal dari Jaksa penyidik pada Seksi Pidana Khusus dalam perkara
ini. Penyerahan tersangka dan barang bukti ini dilakukan setelah Jaksa penyidik
merampungkan berkas perkara dan dinyatakan lengkap oleh Penuntut umum (P-21)
pada tanggal 27 Oktober 2021” terang G. Sumarsono, Kepala Kejari Kepulauan
Tanimbar di Saumlaki, Selasa (8/10/2022).
Dikatakan,
SS dan NA ditahan selama dua puluh hari ke depan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas)
Kelas III Saumlaki berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejari Kabupaten
Kepulauan Tanimbar Nomor : PRINT-397/Q.1.13/Eoh.1/11/2022 tanggal 08 November
2022 atas nama tersangka SS dan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejari
Kabupaten Kepulauan Tanimbar Nomor : PRINT-398/Q.1.13/Eoh.1/11/2022 tanggal 08
November 2022 atas nama tersangka NA.
SS dan NA
diduga melanggar pasal primair yaitu pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1), (2)
dan (3) UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan
atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Selanjutnya,
subsidair yaitu pasal 3 jo pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan
ditambah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHPidana.
“Untuk
ancaman hukuman yaitu pasal 2 ayat 1
minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara. Untuk pasal 3 minimal 1
tahun penjara dan maksimal 15 tahun
penjara,” tegasnya.
Sumarsono
menyebutkan, berdasarkan laporan hasil perhitungan kerugian keuangan negara
terhadap kasus ini, terdapat kerugian keuangan negara sejumlah
Rp.310.264.909.00.
Diberitakan
sebelumnya, G. Sumarsono menyebutkan bahwa modus operandi yang dilakukan oleh
SS dan NA adalah NA menawarkan satu program yang namanya sistem informasi
manajemen desa kepada SS.
Kemudian SS
memaksakan memasukkan pengadaan sistem informasi manajemen Desa ini ke dalam
APBDes di desa masing-masing.
Dari 80 desa
di Tanimbar, hanya 12 desa yang mengikuti arahan SS. Ke 12 desa tersebut
masing-masing Sifnana, Latdalam, Wowonda, Kabiarat di kecamatan
Tanimbar Selatan, desa Tumbur, Lorolulun, Amdasa, Sangliat Dol dan
Sangliat Krawain di kecamatan Wertamrian, desa Adaut dan Kandar di kecamatan
Selaru serta desa Kilon di kecamatan Wuarlabobar.
SS memaksa
para kades untuk menghapus beberapa kegiatan dan mengganti dengan program SIM
D. Dan jika para kades tidak menuruti perintah SS maka APBDesnya tidak bisa
disetujui.
Demikian
juga ketika dilakukan pencairan, para kades diminta untuk mempercepat
pencarian untuk melakukan pembayaran kepada SS dan NA.
“Memasukkan
satu program ke dalam APBDes ini harusnya lewat tahapannya antara lain mulai
dari Musrenbangdes, penyusunan RAPBDes dan seterusnya sampai dengan APBDes
tetapi yang terjadi adalah ketika APBDes sudah jalan dan dilakukan asistensi,
SS memaksa para kades untuk menghapus beberapa kegiatan dan memasukkan program
ini,” beber Somarsono.
Saat
asistensi, para kades diminta membuat proposal untuk pengadaan SIM
D. Di dalam proposal tertera rincian anggaran untuk instalasi
program, biaya pelatihan dan sejumlah biaya lainnya seperti belajar
desain tampilan, belanja pengaturan setting data base, belanja pengelola
aplikasi dan pengisian software, belanja pembuatan dan pengaturan konten.
Penganggaran
dari setiap desa bervariasi yakni kisaran Rp.20.000.000 hingga Rp.30.000.000
per desa.
Somarsono
menyatakan, di daerah lain, program semacam ini diterapkan dan pihak
penerima memperoleh perangkat Software dan hardware namun dalam kasus ini, para
penerima hanya memperoleh software-nya saja.
“Nah,
sampai dengan kita melakukan pemeriksaan ternyata program ini tidak
berjalan atau program ini tidak bisa dimanfaatkan oleh desa sehingga
berdasarkan hasil perhitungan auditor ditemukan kerugian keuangan
negara,”katanya.
Pewarta :
Novie Kotngoran