Foto bersama usai kegiatan pendampingan, Amdasa (11/12/2021). |
Amdasa, Dharapos.com – “Kesalahan ini ada pada kami anggota sendiri. Kami mendapat bantuan dari INPEX berupa ATBM dan benang-benang, terus kami dilatih juga cara mengikat dan cara menjalankan benang, tetapi setelah tim pelatih dan pendamping itu kembali, pengelola yang tidak terbuka kepada anggota sehingga satu per satu mulai tarik diri.”
Itulah ungkapan rasa kecewa yang terucap dari bibir seorang perempuan paruh baya dan dua perempuan tua berwajah datar yang pesimis dengan masa depan kelompok tenun mereka.
Batlolonar adalah nama kelompok mereka. Kelompok binaan Inpex Masela Ltd. ini berada di desa Amdasa, kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Mereka masing-masing Balbina Ayuwembun (44), Mercedes Fenyapwain (66) dan Berlinda Refwalu (61).
Di balai desa Amdasa siang itu (11/12/2021), Balbina dan rekan-rekannya bertutur tentang aktivitas kelompok yang boleh dikata hidup segan mati tak mau. Tuju puluh persen anggota kelompok Batlolonar mengundurkan diri dan menekuni proses pembuatan tenun secara tradisional atau dengan sistem gedog.
Ada sejumlah persoalan yang mereka hadapi, mulai dari ketidakmampuan mengelola keuangan kelompok hingga proses pemasaran.
“Harga tenun yang dibayar ke kami, ada yang proses pembayarannya sangat lama dan dibayar cicil hingga kami tidak terima upah secara utuh dan transparan, ditambah lagi dengan ketua kelompok yang tertutup kepada kami anggota kelompok” tutur Balbina.
Dia mencontohkan beberapa lembar kain hasil tenunan yang dipasarkan oleh Inpex dan Bank Indonesia. Saat laku terjual, uangnya di transfer ke rekening kelompok, namun bagi hasilnya tidak sesuai dengan harapan.
Menenun secara berkelompok menurutnya, memang sulit. Balbina yang berprofesi sebagai seorang guru ASN ini mengakui sudah terbiasa mencari pendapatan sampingan dari menenun. Jika menenun sendiri dengan cara gedog, hasil produksinya sangat memuaskan dan mencukupi kebutuhan keluarga.
“Sejak kami bergabung dalam kelompok ini pada tahun 2019 sampai 2021, bagi hasil yang kami terima belum mencapai Rp 1.000.000. Lebih baik punya usaha sendiri dari pada berkelompok. Kalau sendiri, kami bisa produksi kain dua lembar dalam sebulan dan bisa memperoleh Rp.1.000.000 yang bisa cukup untuk membiayai kebutuhan anak sekolah. Tetapi kalau berkelompok, uang itu di bagi lima orang, maka ada yang dapat Rp.200.000 dan sudah pasti kebutuhan anak sekolah tertunggak,” kesalnya.
Minimnya pemahaman dan pengelolaan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) justru membuat mereka semakin pesimis dan nyaris hengkang dari kelompok. Ibu guru ini mengakui, persoalan ini belum disampaikan ke pihak Inpex maupun LSM PITA, karena sejak pandemi Covid-19, tidak ada kunjungan dan kegiatan-kegitaan kelompok.
Balbina Ayuwembun (44), Mercedes Fenyapwain (66) dan Berlinda Refwalu (61) saat diwawancarai. |
Berlinda yang aktif merespon setiap pembicaraan kami, menyampaikan harapannya. Menurut dia, jika ada orang yang bisa mengkoordinir kelompok Batlolonar, maka sebaiknya merevisi kepengurusan yang ada sehingga pengurus yang baru bisa mengkoordinir anggota kelompok dan menggerakkan kegiatan usaha.
Ketua kelompok Batlolonar adalah istri dari mantan kades Amdasa yang hingga kini berada diluar daerah. Helena, nama ketua kelompok itu berangkat keluar daerah tanpa meninggalkan kunci rumah ATBM sehingga pada saat acara pendampingan kelompok, peserta dan penyelenggara tidak bisa masuk ke gedung itu.
Pendampingan Oleh INPEX
INPEX melakukan pendampingan terhadap kelompok Batlolonar. INPEX kini sangat serius untuk memberdayakan masyarakat setempat dengan program CSR yang diarahkan untuk pengembangan dan peningkatan mutu serta kualitas sumber daya manusia dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat.
Desa Amdasa menjadi salah satu desa yang kerap menjadi fokus pengembangan tenun Tanimbar melalui sinergitas bersama Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Penyelenggaraan program tersebut turut melibatkan LSM PITA sebagai fendor dan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Saumlaki (STIESA) yang tergabung dalam tim Smart Riset (SR).
Silvester Masriat, direktur BUMDes Amdasa yang baru dilantik enam bulan yang lalu itu mengakui, kegiatan BUMDes Amdasa selama ini belum berjalan efektif. Mereka baru saja bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Saumlaki dan INPEX.
“Memang selama ini ada masalah yang terjadi pada kelompok Batlolonar, jadi kami sudah putuskan untuk harus ambil kelompok ini untuk didampingi, apalagi nama Amdasa ini pernah di tertulis pada sebuah salendang yang dipakai oleh Wakil Presiden Bung Hatta,” katanya.
Silvester mengakui, pembentukan dan pendampingan kelompok Batlolonar oleh INPEX ini merupakan kesempatan emas yang harus disambut dengan baik. Oleh karena itu, BUMDes Amdasa akan mensupport dana dan membantu mereka dalam proses pemasaran.
Dia juga berterima kasih kepada INPEX, LSM PITA dan STIESA yang telah melakukan pendampingan bagi kelompok Batlolonar sembari berharap, hasil produksi Batlolonar bisa menembus pasar internasional.
Tim Smart Riset sedang menyajikan materi pendampingan. |
INPEX menggandeng STIESA sebagai trainer dalam program pendampingan bagi kelompok Batlolonar. Penyelenggaraan program tersebut turut melibatkan LSM PITA sebagai fendor dan bergabung dalam tim Smart Riset (SR) Tim SR terdiri dari tujuh orang akademisi.
Baltasar Malindar, ketua STIESA menyatakan, tim SR STIESA memberikan pendampingan BUMDes dan kelompok tenun sebagai wujud penguatan bagi masyarakat dan akan dilanjutkan dengan kegiatan lain, yakni pendampingan dan penguatan kapasitas kreatifitas masyarakat.
“Tujuannya adalah dapat membantu memberikan pendampingan bagi masyarakat, memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan mewujudkan masyarakat yang mandiri dengan berlandaskan pada kearifan lokal,” kata Baltasar.
Kegiatan penguatan kepada BUMDes dan kelompok Batlolonar Amdasa itu disasarkan pada pendampingan good-BUMDes Governance, Bimbingan Teknis dan Pemasaran, Bimbingan teknis akuntansi, Bimbingan Teknis analisa laporan keuangan dan Bimbingan Teknis MSDM BUMDes.
Dia menyebutkan, selama berlangsungnya pendampingan BUMDes dan kelompok tenun, masyarakat sangat antusias berpartisipasi dalam pelaksanaan sosialisasi dan yang dilakukan oleh tim. Pada dasarnya masyarakat menyadari akan pentingnya meningkatkan kapasitas pengetahuan dan pengembangan dunia usaha dengan menggunakan tenun Tanimbar.
Selanjutnya, dia berkesimpulan bahwa kesadaran masyarakat untuk memperkuat kreatifitas akan meningkat apabila dilakukan pendampingan secara berkelanjutan.
“Pentingnya pemahaman dan sinergitas dari semua pihak untuk memperhatikan pengembangan guna peningkatan sumber daya manusia untuk meningkatkan tingkat pereknomian masyarakat lokal,” katanya.
Selain itu, terdapat interest masyarakat untuk meningkatkan penghasilan namun perlu dilakukan pendampingan dan penguatan manajemen pemasaran sehingga menimbulkan trust pengrajin dalam meningkatkan usaha di sektor pengrajin tenun.
Kepala Desa Amdasa, Bonefasius Batmyanik menyatakan, Batlolonar memiliki arti “perempuan-perempuan muda yang selalu bergembira dalam situasi apa saja”.
Dia mengapresiasi perhatian dan dukungan serius INPEX melalui LSM PITA dan STIESA dalam melaksanakan program pendampingan kepada BUMDes dan kelompok tenun Batlolonar.
“Pendampingan dan peningkatan kapasitas ini sangat perlu karena kita tahu bahwa setiap desa memang ada BUMDes, namun untuk berjalan dan mandiri itu tidak ada. Saya pribadi dan atas nama masyarakat Amdasa berterima kasih kepada INPEX, LSM PITA dan STIESA,” katanya.
Kades berjanji akan melengkapi kepengurusan BUMDes sesuai aturan yang berlaku agar bisa bekerja sama dengan para pengrajin tenun di desa Amdasa.
Fidelis Samponu, koordinator program Investasi Sosial INPEX Masela Ltd. untuk tenun ikat khas Tanimbar menyatakan, walau belum beroperasi bahkan melaksanakan aktivitas migas yang berarti, INPEX Masela telah berkomitmen untuk melakukan sejumlah Program Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka mendapatkan lisensi sosial sejak dini melalui kepercayaan, penerimaan dan dukungan masyarakat sekitar.
Untuk itu, dia meminta pemerintah desa, BUMDes dan kelompok tenun Batlolonar untuk tidak menyia-nyiakan bantuan INPEX melalui program investasi sosial ini.
Pewarta : Novie Kotngoran.