Hukum dan Kriminal

Hakim PN Saumlaki Polisikan Seorang Pengacara

16
×

Hakim PN Saumlaki Polisikan Seorang Pengacara

Sebarkan artikel ini
Achmad Yani Tmher
Jubir PN Saumlaki, Achmad Yani Tamher 

Saumlaki, Dharapos.com 
Majelis hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Saumlaki akhirnya mengajukan laporan polisi atas dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Alfonsus Bersady (AB),yang berprofesi sebagai seorang pengacara yang diduga telah menuduh majelis hakim secara sepihak tanpa dasar alasan yang tepat.

Juru Bicara (Jubir) PN Saumlaki, Achmad Yani Tamher kepada Dhara Pos di Saumlaki, Jumat (26/1) menjelaskan bahwa perkara ini berawal dari adanya ketidakpuasan AB yang dalam kasus ini sebagai saksi korban.

Melalui suratnya kepada Majelis Hakim PN Saumlaki pada tanggal 22 Januari 2018, AB menuduh tim majelis hakim masing-masing Ronald Lauterboom, Achmad Yani Tamher dan Raden Satya  Adi Wicaksono yang telah memutus perkara nomor 81/Pid.B/2017/PN Sml,  berbuat curang.

Para hakim dituduh menyuruh terdakwa meminta maaf kepada saksi korban, ketua majelis membatasi saksi di persidangan, serta ketua majelis hakim menegur atau menasihati terdakwa dengan kalimat:
“Hati-hati berbicara terhadap orang”.

“Selain itu, tuduhan kepada majelis hakim dalam perkara a quo yang membebaskan terdakwa Yusuf Fambrene alias Ucu, menurut saksi korban Alfonsus Bersady bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum menggunakan pasal 310 ayat 1 KUHP telah terbukti dalam pembuktian di persidangan yang diperoleh dari keterangan para saksi dan keterangan dari terdakwa yang telah mengaku menghina saksi korban, akan tetapi dalam pertimbangan unsur pasal 310 ayat 1 KUHP oleh majelis hakim a quo justru membebaskan terdakwa Ucu,” katanya.

Terhadap tuduhan yang mencemari nama baik majelis hakim pada PN Saumlaki ini maka pihaknya telah melaporkan AB ke Polres Maluku Tenggara Barat (Polres MTB) dengan bukti laporan polisi nomor: STLP/08/I/2018/SPKT.

Tamher di kesempatan itu juga menanggapi tuduhan AB sebagaimana isi suratnya kepada majelis hakim.

Menurutnya, Ketua majelis hakim menyuruh terdakwa meminta maaf kepada saksi korban merupakan hal yang wajar dilakukan oleh ketua majelis hakim di dalam persidangan pada saat tahapan pemeriksaan saksi korban.

“Terdakwa minta maaf dalam persidangan itu tidak berarti menghapuskan perbuatan pidananya, melainkan proses pidana tetap berlanjut. Poin krusial kedua yakni majelis hakim membatasi saksi di persidangan, sesungguhnya ketua majelis hakim tidak menyatakan hal demikian seperti yang dituduhkan karena dicatat dan direkam oleh panitera pengganti,” bantahnya.

Sedangkan terkait poin krusial yang ketiga adalah ketua majelis hakim menegur atau menasihati terdakwa dengan kalimat “hati-hati berbicara terhadap orang”, merupakan suatu nasihat dari ketua majelis hakim kepada terdakwa dalam persidangan adalah hal yang wajar.

Dimana tujuan dari nasihat tersebut diharapkan agar terdakwa dapat menjaga sikap dan perilakunya dalam pergaulan di tengah masyarakat.

JPU dalam perkara nomor 81/Pid.B/2017/PN Sml menyusun surat dakwaan berbentuk tunggal dengan menggunakan pasal 310 ayat 1 KUHP dan dalam pembuktiannya di persidangan menganggap telah terbukti.

Namun berbeda halnya dengan majelis hakim yang mempertimbangkan unsur pasal ketiga dari pasal 310 ayat 1 KUHP yaitu “Unsur dengan menuduh melakukan sesuatu” tidak terpenuhi.

Sehingga berdasarkan ketentuan pasal 191 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana: jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Dengan putusan bebas yang dibacakan oleh majelis hakim pada 10 Januari 2018 tersebut, JPU pada Kejaksaan Negeri MTB tanggal 16 Januari 2018 telah mengajukan permohonan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung (MA).

Namun JPU harus pula memperhatikan permohonan upaya hukum kasasi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 45a ayat 2 dan ayat 3 UU Nomor 5 tahun 2004, sebagaimana telah di rubah dengan UU nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Surat Edaran MA nomor 11 tahun 2010 tentang penjelasan ketentuan pasal 45a UU nomor 5 tahun 2004 tentang MA yang menegaskan bahwa permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan berkasnya tidak dapat dikirimkan ke MA.


(dp-18)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *