![]() |
Siprianus Alatubir, SH |
Dobo, Dharapos.com
Kapolres Aru AKBP H. Wilson Huwae dituntut bersikap tegas atas laporan kasus ilegal loging atau penebangan hutan secara liar yang diduga dilakukan Basiron Patikoloba atas petuanan adat milik marga Parjer sebagai pemilik sah atas lahan di desa Tabarfane, Kecamatan Aru Tengah, Kabupaten Kepulauan Aru.
Tuntutan tersebut disampaikan Siprianus Alatubir, SH, yang diberikan kuasa oleh masyarakat Adat yang diwakili Ardi Parjer bertindak sebagai pelapor untuk menangani persoalan tersebut.
Diungkapkannya, kasus ini telah dilaporkan ke Polres Kepulauan Aru terkait dugaan terbitnya permohonan izin penebangan yang diduga palsu, dan diharapkan setelah laporan tersebut diterima maka pihak kepolisian langsung mengambil tindakan atas laporan yang telah disampaikan pihak pelapor dalam hal ini Ardi Parjer.
Namun kenyataannya, pihak Polres Aru terkesan tak serius menanggapi laporan tersebut.
“Buktinya, beberapa hari lalu saat kami melakukan pemantauan langsung di TKP dan ada oknum dari Dinas Kehutanan Aru sendiri maupun sejumlah petugas kepolisian yang diutus oleh pihak Polres Aru ternyata mereka terlihat tak berbuat apa-apa,” ungkap Siprianus yang turut serta mendatangi TKP.
Atas fakta itu, dirinya mempertanyakan sikap yang ditunjukkan para aparat polisi yang ditugaskan dan meminta Kapolres Aru segera mengevaluasi anak buahnya yang diterjunkan ke TKP.
“Kenapa harus dievaluasi? Karena mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Buktinya, ketika mereka turun lapangan ada barang bukti berupa alat senso dan tumpukan kayu seperti papan jadi sebagaimana yang juga kami lihat yang seharusnya diamankan tapi kenyataannya barang-barang bukti tersebut tidak diamankan atau di police-line,” beber Siprianus.
Bukan hanya itu saja, terkait lokasi TKP yang seharusnya sudah dikosongkan dari para tenaga kerja yang tadinya ada di situ, namun kenyataannya mereka malah disuruh tenang saja di tempat dan tidak melakukan aksi apa-apa.
“Yang menjadi pertanyaan kita adalah kalau kita kembali ke Dobo berarti mereka kerja lagi dong? Dan itu pasti,” cetusnya.
Yang parahnya lagi, pihak Dinas Kehutanan sebenarnya harus menghadirkan pemilik petuanan (Ardi Parjer, red) yang punya hak di situ tetapi mereka malah mengikutsertakan pelaku (Basiron Patikoloba, red) yang telah dilaporkan ke Polres Aru.
“Kok bisa terlapor (Basiron Patikoloba, red) yang sebenarnya ketika laporan masuk ke Polres, paling lambat satu minggu kemudian harus diamankan dulu, tapi kenyataannya dia malah dibawa serta ke TKP, bahkan ikut juga memberikan spirit kepada 10 orang tenaga kerja di lokasi tersebut untuk terus bekerja saja,” heran Siprianus.
Olehnya itu, ia mendesak perlu adanya evaluasi dari Kapolres Aru terkait sepak terjang sejumlah anak buahnya yang di utus ke Tabarfane.
Pasalnya, dirinya mencurigai telah terjadi kongkalikong antara pihak terlapor, Dinas Kehutanan dan oknum anggota Polres Aru yang ditugaskan ke TKP sehingga tidak melakukan tindakan apapun.
Siprianus juga menilai pihak Dinas Kehutanan Aru yang sudah tahu benar telah menerbitkan surat izin palsu tersebut terkesan tutup mata terhadap laporan pelapor (Ardi Parjer ,red) ke Polres Aru.
“Karena sebenarnya ketika dilaporkan ke Polres, maka tidak boleh ada lagi kegiatan dan mereka (Dishut Aru, red) harus mencabut izin. Mereka juga memberikan jaminan kepada pelapor agar satu minggu kemudian datang ke Dinas Kehutanan untuk memastikan bahwa pihak yang di beri izin telah disurati untuk berhenti dulu,” lanjutnya.
Namun, faktanya waktu investigasi kedua yang dilakukan oleh pelapor, ternyata terlapor ikut juga bahkan hasil olahan hutan semua yang telah didokumentasikan sebagai lampiran dalam laporan ke Polres telah diangkut semuanya.
“Barang buktinya sudah kosong, malah di situ yang kita temukan ada senso baru dan ada papan-papan baru di situ. Hal Ini sudah membuktikan bahwa ada skenario yang sebenarnya dimainkan oleh pihak Dinas Kehutanan sendiri terhadap persolan ini,” beber Siprianus.
Atas fakta ini, dirinya kembali mendesak Kapolres Aru untuk segera memanggil pihak Dishut khususnya pada bidang yang telah mengeluarkan izin penebangan palsu dalam hal ini saudara Samangun untuk di proses hukum.
“Saudara Samangun harus ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti sebagai biang keladi dari persoalan
ini. Yang bersangkutan telah bekerja sama dengan Ramadhan Parjer dengan menerbitkan izin penebangan yang terbukti palsu,” tegas Siprianus.
Kapolres harus memanggil pihak Dinas kehutanan untuk memberikan keterangan karena mereka saksi ahlinya.
“Dan kalau di tetapkan sebagai tersangka kenapa tidak? Karena surat itukan palsu! Apalagi tanda tangan, cap, nomor surat dan yang lainnya di palsukan kemudian dalam perjanjian kerja sama tidak ada meterai berarti ini tidak memiliki dasar hukum,” kembali tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, Siprianus juga mendesak Kapolres untuk segera mengamankan Ramadhan Parjer yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap pelapor dan itu terjadi dihadapan polisi.
“Ramadhan Parjer itu harus segera diamankan di Polres Aru untuk diproses hukum akibat tindakan penganiayaan yang dilakukannya terhadap pelapor. Karena dengan memproses hukum Ramadhan maka Basiron juga otomatis harus diamankan karena ketika ditahan maka semua persoalan menjadi terang benderang,” tukasnya.
Perlu diketahui, awalnya Abraham Parjer selaku kepala suku marga Parjer memberikan izin untuk melakukan penebangan seluas 2 – 3 kubik kepada Ramadhan Parjer karena yang bersangkutan mengaku memerlukan biaya guna mengongkosi kuliah anaknya.
Fatalnya, kepercayaan tersebut malah disalahgunakan Ramadhan Parjer dengan ambisi mengeruk keuntungan yang lebih sehingga berupaya membuat surat izin penebangan pada Dishut guna memuluskan ambisinya.
Oleh Dishut Aru, kemudian diterbitkan surat izin penebangan pada salah satu lahan petuanan adat milik marga Parjer di desa Tabarfane.
Penerbitan surat izin yang diduga palsu tersebut didasarkan atas permohonan yang disampaikan oleh Ramadhan Parjer dengan mengatasnamakan masyarakat adat setempat.
Berhasil memperoleh surat izin dari Dishut Aru, Ramadhan kemudian memberikan surat kuasa kepada Basiron Patikoloba untuk melakukan penebangan pada lahan dimaksud.
Tidak terima karena merasa hak miliknya dirampas orang lain, masyarakat adat Parjer kemudian melaporkan Basiron Patikoloba ke Polres Kepulauan Aru.
Informasi yang dihimpun Dhara Pos, area pemasaran hasil penebangan liar tersebut hingga ke luar pulau, salah satunya Makasar (Sulawesi Selatan).
(dp-31)