Oleh: Simon Lolonlun*
“Kita harus memastikan REDD akan membantu masyarakat setempat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik sekaligus mencapai tujuan untuk mempertahankan keberadaan hutan dan keanekaragaman hayati,”
(Menteri Kehutanan RI, Zulkifli pada program PBB untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di negara-negara berkembang pada UN-REDD Inception Workshop, Selasa, 30 Maret 2009 di Gran Mélia Hotel, Jakarta)
”…Hutan….hutan…. hutan…….” Entah apa yang ada di benak para pengambil kebijakan di
negeri ini ketika memutuskan untuk melahirkan kebijakan Pengolahan Hutan di Pulau Yamdena yang di tandai dengan dikeluarkanya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 117/MENHUT-II/2009 tertanggal 19 Maret 2009 tentang pemberian isin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam kepada PT. Karya Jaya Berdikari atas areal hutan produksi seluas ± 93.980 hektar yang didasarkan pada Rekomendasi Bupati Maluku Tenggara Barat, Nomor 522/093/Rek/2007, tgl 28 Agustus 2007.
Lalu bagaimana dengan kata-kata Menteri Kehutanan sendiri pada tahun 2009 diatas. .”…mempertahankan keberadaan hutan dan keanekaragaman hayati’..???
Terbitnya SK Menhut ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai perspektif jangka panjang dan belum berpihak pada lingkungan hidup karena tidak mempertimbangkan dampak sosial,ekonomi,dan ekologis serta nilai jasa lingkungan yang hilang sebagai akibat dari pelaksanaan SK tersebut. SK Menhut ini dipastikan akan memanen bencana dan menambah buram masa depan hutan pulau Yamdena.
Mungkin saja para pengambil kebijakan negeri ini telah amnesia, yang gampang lupa pada komitmen yang dibuatnya sendiri. Hal itu karena SK Menhut ini terbit setelah Deklarasi Bali, sebagai hasil dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim pada 3–14 Desember 2007 lalu itu secara jelas dituangkan komitmen dan langkah-langkah masing-masing negara, termasuk pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.
Lantas, jika komitmen yang dicapai dengan susah payah itu dicederai sendiri oleh pemerintah, publik pantas heran dan geram. Sebenarnya, mau dibawa ke mana kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup di negeri ini kalau setiap meter persegi hutan akan dijual lebih murah daripada sebuah pisang goreng? Deklarasi Bali secara gamblang menyatakan bahwa setiap negara peserta,termasuk pemerintah Indonesia, akan melestarikan hutan sebagai penyerap emisi karbon yang sebagian besar diproduksi industri di negara-negara maju.
Bahkan,sebagai dampak ikutan dari Konferensi Bali, euphoria menanam pohon muncul di mana-mana hingga pelosok desa. Dari kalangan partai politik, pengusaha,organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain berlomba-lomba menanam pohon untuk menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk melaksanakan Deklarasi Bali. Kesadaran bahwa pohon merupakan kehidupan mulai muncul setelah berbagai bencana – sebagai akibat dari rusaknya hutan terus bermunculan.
Selain itu, sekarang pohon bisa dijual atas nama penyerapan karbon. Konferensi Bali juga menyetujui salah satu mekanisme kontroversial, yaitu REDD atau Pengurangan Emisi melalui Deforestasi dan Degradasi. Emisi karbon akan dikurangi melalui pencegahan kerusakan hutan dan rehabilitasi kawasan hutan maupun non hutan.
Salah satu dampak negatif dari mekanisme ini adalah hak-hak masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan akan dirugikan. Hal itu karena mekanisme ini memungkinkan negara memakai tangan besi untuk mengambil alih lahan/hutan adat untuk dikonsersikan sebagai hutan penyerap karbon atau menjadi toilet industri negara negara maju.
Kekhawatiran dan kecemasan warga di Maluku Tenggara Barat akan hal ini, terlihat dengan adanya penolakan hadirnya PT. Karya Jaya Berdikari di MTB sebagai perusahaan yang mengantongi SK Menhut untuk mengelolah hutan Yamdena yang masih perawan meski sebelumnya telah di babat oleh cukong local maupun salah satu perusaahaan besar di era Orde Baru.
Di sebagian ruas jalan masuk sejumlah desa terpampang papan mengutuk dan menolak hadirnya HPH di Hutan Yamdena hingga benturan fisik antar warga seperti yang terjadi di desa Arma
kecamatan Nirunmas. Hutan merupakan ciptaan Tuhan bagi anak-cucu di negeri ini sehingga pemerintah yang terbentuk selama lima tahun tidak bisa seenaknya melahirkan kebijakan yang akan mencabut hak anak-cucu untuk menikmati hutan dan fungsi jasa lingkungan yang dihasilkannya dari waktu ke waktu.
Ya Bapa, Yang Maha Kuasa dan Kekal. Nyatakanlah kuasa- Mu serta bukalah hati dan budi setiap orang, yang hanya karena rakus akan uang dan harta dunia ini telah merusak hutan di Pulau Yamdena. Ganjarilah mereka setimpal dengan perbuatan mereka dan hentikanlah segala bentuk tindakan yang merusak hutan di Pulau Yamdena ini. Berikanlah juga kepada kami semua semangat untuk tetap setia memelihara kelestarian hutan, demi keselamatan hidup kami, serta anak cucu kami….. (Kutipan doa Umat Katolik wilayah MTB 2009 – 2011).
Selagi belum menimbulkan konflik berkepanjangan dan berdampak lebih luas pada sistem ekologi yang berimbas pada semakin masifnya bencana akibat buatan manusia, masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk mencabut Surat Keputusan ini tanpa perlu malu!!!
* Penulis adalah Ketua Presidium DPC PMKRI Cabang Saumlaki periode 2013 – 2015