![]() |
Dir. Pembinaan Usaha Hulu Migas, Kementrian ESDM – Dr. Ir. Djoko Siswanto, MBA (kiri), dan salah satu kuasa hukum pemilik lahan Dedy D.C. Maaturwey, SH, MH. |
Jakarta, Dharapos.com
Pembangunan Logistic Supply Base (LSB) di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat untuk kepentingan kegiatan lapangan Abadi Blok Masela dipastikan molor hingga ada kepastian soal alokasi anggaran pembebasan lahan.
“Hal itu harus menunggu hingga tahun 2018,” demikian pernyataan tegas dari Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral – Dr. Ir. Djoko Siswanto, MBA, saat pertemuannya dengan salah satu kuasa hukum pemilik lahan Dedy D.C. Maaturwey, SH, MH, di ruang kerja Direktorat Minyak dan Gas, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Kamis (15/10).
Kutipan pernyataan tersebut disampaikan Maaturwey kepada Dhara Pos dengan maksud meluruskan pernyataan yang disampaikan Sekretaris Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Mathias Malaka, dalam pemberitaan sebelumnya yang dimuat di media online Dharapos.com, Selasa (20/10).
Bahkan menindaklanjuti itu, Kementerian ESDM telah mengirim surat kepada Pemerintah Provinsi Maluku untuk menegaskan permasalahan tersebut.
“Jadi pernyataan dan penjelasan dari salah satu pejabat daerah tersebut jelas-jelas keliru,” tegas kuasa hukum pemilik lahan Dedy D.C. Maaturwey, SH, MH, dalam rilisnya yang diterima Dhara Pos, Kamis (22/10).
Dijelaskan, sebagai informasi awal, pembebasan lahan merupakan proses negosiasi yang memerlukan waktu panjang dan melelahkan.
“Bukan karena masyarakat pemilik mempersulit namun lebih pada upaya mencapai kesepakatan yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat pemilik,” jelasnya.
Karena itu, mengingat setelah proses alih kepemilikan tersebut, hak pemilikan lahan menjadi hilang sama sekali sehingga proses pembebasan lahan harus menjamin tercapainya rasa keadilan masyarakat..
“Hasil pertemuan pada tanggal 15 Oktober 2015 yang lalu, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas menyatakan bahwa kegiatan Blok Masela masih menunggu keputusan Menteri,” tandas Dedy.
Dan, perlu diketahui bahwa sesuai dengan UU No 2 Tahun 2012, pada pasal 5 menyebutkan bahwa Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah meperoleh kekuatan hukum tetap.
“Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa proses pelepasan harus berdasarkan kekuatan hukum tetap. Sehingga perlu kehati-hatian besar bagi para pihak yang terlibat guna menghindari terjadinya konflik maupun penyalahgunaan wewenang,” tegas Dedy.
Untuk itu, tidak berlebihan dan sangat keliru jika pernyataan Sekda MTB yang menyatakan bahwa pembebasan lahan bagi kepentingan bisnis Inpex Masela terealisasi pada tahun 2016, jelas-jelas menunjukkan keberpihakan yang bersangkutan kepada kepentingan swasta asing.
“Padahal mestinya berpihak pada kepentingan masyarakat lokal,” herannya.
Di sisi lain, sambung Dedy, Sekda MTB hendaknya mengetahui bahwa anggaran pembebasan lahan ternyata tidak tersedia di tahun 2015 maupun 2016. Sehingga, jelas hal ini menunjukkan Sekda MTB tidak memahami seluruh proses yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Di sisi lain, pembebasan lahan tersebut juga bukan merupakan bagian dari Kontrak Kerja Sama, sebagaimana diatur dalam UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Ggas Bumi Bab VII Pasal 33 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.”
“Dengan demikian maka pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan LSB tersebut, sejogyanya bukan menjadi konsen operasional perusahaan Inpex Masela,” cetusnya.
Oleh karena itu, keterangan Sekda MTB, Mathias Malaka, jelas merupakan informasi yang berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Sekda hendaknya memperhatikan aturan hukum perundang-undangan yang berlaku. Bukan menjadi corong bagi kepentingan perusahaan Inpex Masela,” kecamnya.
Sekalipun menurut Sekda sudah ada komitmen bersama, SKK Migas, Inpex, dan Pemda MTB, proses pembangunan tidak dapat berjalan di tahun 2016. Hal ini penting untuk disampaikan kepada publik masyarakat MTB, mengingat alokasi anggaran pembebasan lahan belum tersedia satu rupiah pun.
“Landasan hukumnya jelas! Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya pendanaan untuk Kepentingan Umum,” cetus Dedy.
Hingga saat ini, dana untuk kegiatan dimaksud, belum ada kejelasannya. Sehingga tindakan dan kegiatan-kegiatan pembebasan lahan yang mengatasnamakan kepentingan umum di Saumlaki dikategorikan liar dan tidak memiliki kekuatan hukum.
(dp-16)