Langgur, Dharapos.com
Penyelesaian sengketa atas sebidang tanah rumah antar sesama marga Wear yang berlangsung di rumah raja Danar, Kecamatan Kei Kecil Timur Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, belum lama ini, berujung pada penganiayaan.
![]() |
Ilustrasi Penganiayaan |
Akibatnya, korban penganiayaan, Subaida Wear harus menjalani perawatan secara intensif di RSUD Karel Sadsuitubun Langgur.
Sementara, beberapa orang yang diduga terlibat dalam pengrusakan dan penganiayaan tersebut sudah di amankan di Polres Malra.
Kepada Dhara Pos, Jumat (28/11), ketika dikonfirmasi kepada salah satu keluarga korban, Benul Wear, dirinya mengaku sangat menyesalkan tindakan penganiayaan yang dilakukan pelaku terhadap Subaida Wear (Ida) maupun keluarga pelaku yang melakukan aksi perusakan.
“Adat budaya di Kei ini, mati karena sanak saudara dan juga batas tanah tetapi karena setelah kejadian pemukulan hingga penganiayaan telah dilaporkan ke pihak berwajib dalam hal ini Kepolisian Resort Malra, sehingga pelaku-pelaku kejahatan yang tidak bertanggung jawab ini bisa diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,” ungkapnya.
Kejadian penganiayaan ini, jelas Benul, terjadi di atas tanah adat yang mana semua orang tahu bahwa adat budaya orang Kei sangat keras dan berharga.
“Namun, kita hindari terjadinya berbagai macam kejahatan yang tidak diinginkan bersama, karena itu diharapkan kepada pihak Polres Malra dapat memproses masalah penganiayaan ini dengan baik sehingga semuanya berjalan dengan aman dan lancar,” harapnya.
Ditegaskan Benul, pihaknya juga tidak ingin menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bersama apalagi masalah ini terjadi dalam satu mata rumah (satu marga) sehingga jika memang ada kekeliruan, maka ada kepala marga, kepala desa dan juga Raja yang bisa menyelesaikan persoalan ini.
“Mungkin saja si Bahar hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya jago dengan melakukan kekerasan terhadap seorang wanita,” ujarnya
Untuk itu, Benul berharap agar permasalahan ini secepatnya diselesaikan melalui proses hukum, karena pelaku telah mencoret adat istiadat budaya Kei dalam dirinya, sehingga sudah sepatutnya ia diganjar dengan hukuman baik hukum adat maupun negara.
“Supaya ini menjadi pelajaran bagi kita semua agar di kemudian hari tidak terjadi lagi hal seperti ini,” harapnya.
Olehnya itu, Benul meminta Kapolres Malra, AKBP. M. Rum Ohoirat sebagai anak asli daerah dan juga anak adat, untuk tegas kepada jajarannya agar secepatnya menuntaskan proses hukum kasus penganiayaan oleh Bahar Wear terhadap Ida Wear yang terjadi beberapa waktu lalu.
“Karena adat istiadat orang Kei ini sangat fanatik dan keras dan sudah berlangsung sejak leluhur kami,” tegasnya.
Benul juga menyampaikan apresiasinya kepada Kapolres Malra dan jajarannya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlebih khusus dalam menuntaskan persoalan ini.
Sebelumnya, penyelesaian sengketa atas sebidang tanah rumah antar sesama marga Wear yang berlangsung di rumah raja Danar, Kecamatan Kei Kecil Timur Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, belum lama ini, berujung pada penganiayaan sehingga salah satu korban harus di rawat secara intensif di RSUD Karel Sadsuitubun Langgur.
Korban Subaida Wear, yang juga berstatus mahasiswi ketika di temui Selasa (4/11) di ruang rawat RS menceritakan sebelum di pukul dirinya melakukan pengambilan dokumentasi dalam ruangan pada saat sidang perselisihan tanah di dalam rumah raja namun di tegur oleh Bahar Wear dengan menarik bajunya.
Namun karena tidak menerima, maka dirinya juga menarik lengan baju dari Bahar wear, sehingga spontan Bahar Wear langsung memukul dirinya dengan kepalan tangan satu kali dari bagian belakang kepala sehingga dirinya terjatuh.
“Akibat pukulan tersebut saya langsung tak sadarkan diri, dan tidak hanya itu saat terjatuh saya sempat di pukul dengan menggunakan piring pada bagian wajahnya sehingga pelipis sebelah kiri saya mengalami luka sobek,” bebernya.
Dikatakannya, akibat terkena pukulan dari Bahar dengan menggunakan piring, penglihatannya saat ini tidak normal karena apabila terkena cahaya matanya terasa kabur.
Informasi yang berhasil di himpun koran ini menyebutkan, penyelesaian adat di rumah raja Famur Danar akibat dipicu keributan kepemilikan sebidang tanah antara keluarga Salamat Wear (53) dan Saib Wear (52), Bahar wear (54) yang sama-sama memiliki sertifikat atas tanah tersebut.
Sebelumnya, sesuai keterangan dari pihak korban Salamat Wear, pada tanggal 25 Oktober sekitar pukul 10.00 Wit bermula saat dirinya mengangkut batu untuk membangun fondasi rumah atas dasar pemberian bantuan rumah sederhana yang di berikan oleh Pemerintah Kabupaten Malra.
Namun, kegiatannya langsung dicegah oleh Saib Wear dan Bahar Wear dengan alasan bahwa tanah yang di gunakan untuk pembangunan rumah adalah milik mereka (Saib/Bahar-red).
Atas pernyataan tersebut, dirinya juga mengklaim bahwa tanah tersebut juga miliknya karena juga memiliki sertifikat atas tanah tersebut.
Lantas, pada tanggal 28 Oktober sekitar pukul 16.00 wit rumahnya didatangi rombongan Saib Wear dan Bahar Wear bersama 6 orang anaknya dan kemudian merusak pagar serta merusak atap dapur rumah dan sempat di antaranya ada yang mengeluarkan kata-kata mengancam.
“Apabila dalam waktu 3 hari ini tidak mengosongkan rumahnya maka mereka akan kembali dan melakukan pembakaran terhadap rumah tersebut,” ucap Salamat menirukan ancaman yang dilontarkan pihak Saib-Bahar.
Kemudian, pada Kamis pagi (30/10), kedua bela pihak di pertemukan oleh raja Danar M. Hanubun guna mencari solusi dalam penyelesaian masalah tersebut namun pada saat akan di mulainya pertemuan tersebut dirinya serta anaknya Subaida Wear di pukul.
informasi yang berhasil di himpun koran ini menyebutkan, beberapa orang yang diduga terlibat dalam pengrusakan dan penganiayaan sudah di amankan di Polres Malra.
(obm)