Langgur, Dharapos.com
Banyaknya Ohoi (Desa) yang di pimpin pejabat sementara atau kareteker di lingkup Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara dinilai menjadi bukti ketidakseriusan pihak Pemda dalam hal ini Bupati dan Wakil Bupati dalam menerapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Ohoi.
![]() |
Desa Ohoirenan, Pulau Kei Besar |
Hal ini diungkapkan Ketua Tim Pemekaran Kei Besar, Hein Refra, kepada Dhara Pos, Senin (8/12).
“Pemerintah Daerah telah menerbitkan Perda terkait aturan-aturan tentang Ohoi, namun anehnya Perda tersebut diibarat seperti pot bunga yang hanya dipajang untuk dilihat orang,” ungkapnya.
Karena kenyataannya, beber Refra, hampir sebagian besar Ohoi yang ada di Kabupaten Malra hingga saat ini hanya di pimpin seorang kareteker atau pejabat sementara. Bahkan, ada yang sudah menjabat hingga belasan tahun.
“Anehnya, sesuai aturan dalam Perda Ohoi bahwa pelaksana tugas atau kareteker hanya menjabat selama enam bulan hingga setahun sambil menunggu pejabat definitif. Tapi di kabupaten ini, ketentuan dalam Perda yang dibuat Pemda sendiri tidak berlaku sama sekali, ini kan jelas-jelas aneh dan tak masuk akal,” bebernya.
Refra menyayangkan sikap Pemda yang terkesan tidak bernyali atau tegas dalam menerapkan aturan sebagai ketentuan dalam Perda Ohoi.
“Karena sikap mereka inilah yang mempertegas bahwa Perda Ohoi hanyalah Perda Pot Bunga. Padahal seharusnya Pemerintah tidak perlu dengar siapa-siapa lagi karena aturannya sudah jelas,”sesalnya.
Atas kondisi ini, Refra mendesak Bupati dan Wabup untuk segera mengambil langkah tegas dengan memerintahkan Badan Pengelolah Masyarakat Desa (BPMD) dan para Camat se wilayah Kabupaten Malra untuk mulai memberlakukan aturan atau ketentuan Perda Ohoi.
“Mereka harus segera mengganti para pelaksana tugas atau kareteker pada sejumlah Ohoi dengan para pejabat definitif sehingga proses pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik,” desaknya.
Pada kesempatan yang sama, Refra juga mengingatkan Pemerintah untuk tidak menekan atau bahkan menyabotase hak masyarakat kecil yang sebenarnya akan digunakan bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Dirinya mencontohkan, salah satunya saat masyarakat mengambil kayu yang berada di petuanan mereka yang menjadi hak milik masyarakat untuk membiayai sekolah anak-anak maupun kebutuhan lainnya.
“Tapi anehnya, malah Pemerintah sendiri yang selalu menghalanginya bahkan melakukan penyitaan kayu-kayu tersebut,” kecam Refra.
Bahkan, soal kayu-kayu yang disita dari masyarakat, beber dia, tidak pernah diketahui keberadaannya alias raib ditelan bumi.
“Sudah puluhan tahun hidup dan menetap di Kabupaten Maluku Tenggara, saya belum pernah lihat dan apalagi tahu akan keberadaan kayu-kayu hasil sitaan dari masyarakat setiap saya mendatangi kantor
Dinas Kehutanan Maluku Tenggara. Bahkan yang saya lihat tidak lebih dari dua kubik makanya patut dipertanyakan kemana kayu-kayu sitaan tersebut, disimpan dimana,” beber Refra heran.
Cara kerja seperti ini, tegas dia, jelas-jelas menunjukkan sepak terjang para mafia kayu yang selama ini mengatasnamakan aturan, namun kenyataannya hanya demi kepentingan perut sendiri.
“Cara-cara seperti inilah yang akan merusak nama baik Pemerintah Daerah karena bukannya bertugas melayani masyarakat tetapi malah balik menipu bahkan memeras habis masyarakat,” tegas Refra.
Karena itu, dirinya meminta Bupati dan Kepala Dinas Kehutanan Malra untuk bersikap tegas terhadap jajarannya agar profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan aturan atau kaidah yang berlaku.
(obm)